Mohon tunggu...
Latif N. Janah
Latif N. Janah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Cerpen | Fotografi | Sandal Jepit | Batik | Sambal | Sepeda | Pasar Tradisional\r\n pacelatonlatif.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kubang Rasa

17 April 2012   13:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:30 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kubang Rasa

Saya bahkan merasa kesulitan saat mengisi formulir setiap ada pendataan di sekolah. Setiap saya bertanya pada Ibu, ia seolah menyembunyikan sesuatu dari saya.

“Kenapa harus yang ini, Bu? teman-teman Ranju biasanya milih yang ini.” kata saya, menunjuk kolom “status dalam keluarga” yang berada pada lembar formulir data diri dari sekolah.

Seperti biasa Ibu tak pernah menjawab pertanyaan saya. Ia hanya terus membantu saya menuliskan beberapa kalimat dalam titik-titik yang tertera pada formulir. Saya masih kelas tiga SD saat itu. Pernah saya membuka-buka formulir yang sama milik adik saya, Dani. Saya heran ketika melihat formulir milik Dani ditulis sama persis dengan punya teman-teman saya. Di sana tertera coretan pada tulisan “anak tiri” sementara Ibu selalu menyoret “anak kandung” pada formulir saya.

Saat itu saya sengaja menunggui Ayah di kamar tanpa sepengetahuan Ibu. Ayah bekerja di luar kota sehingga hanya di akhir pekan saya bisa bertemu. Saya juga mendengar mereka bercakap. Dari yang saya dengar, Ibu selalu menyebut-nyebut nama “Riana”.

Percakapan itu mulanya hanya pembiacaraan biasa, namun lambat laun berubah menjadi perdebatan sehingga untuk kesekian kalinya, akhirnya saya harus membiasakan diri untuk mendengar hal semacam ini setiap kali Ayah pulang.

“Saya akan mengajaknya bertemu Riana.” kata Ibu di suatu pagi di akhir pekan. Ayah tak memberi tanggapan, hanya sebuah anggukan yang membuat saya akhirnya menuruti tarikan tangan Ibu.

Selama perjalanan pagi itu, Ibu tak bicara sepatah kata pun. Biasanya, jika kami pergi bersama Dani, ia akan membelikan makanan kesukaan kami berdua. Ia hanya sesekali melirik ke arah saya yang duduk di sampingnya.

Tibalah kami di sebuah tempat makan. Tempat makan yang asing bagi saya saat itu. Kepulan asap rokok ada di setiap sudut ruangan sementara beberapa orang yang terlihat seperti preman duduk di sana. Ibu mengenggam tangan saya lalu menuntun saya menuju tempat duduk di salah satu pojoknya.

Ada seorang wanita di sana dengan pakaian yang lagi-lagi asing; topi, sepatu yang tak layak pakai, celana jins yang robek di bagian lutut. Di jari tangannya terselip rokok yang sama persis seperti rokok Ayah. Wanita itu tersenyum pada Ibu kemudian lebih mengembang ketika melihat saya yang malu-malu. Meski saya masih kecil saat itu, saya bisa menangkap jika ada ketidaknyamanan antara Ibu dan wanita itu.

“Sudah lama, Ri?” sapa Ibu pada wanita itu. Ia mengulurkan tangan, namun Ibu tidak menyambutnya. Ibu mengambil tempat duduk tepat di depan wanita itu. Ia tersenyum lagi pada saya. Lebih mengembang dan sangat manis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun