Mohon tunggu...
Latieva Sonia
Latieva Sonia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

observe and learn

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Efektifkah Melakukan "Cancel Culture" di Indonesia?

22 Desember 2022   01:34 Diperbarui: 22 Desember 2022   12:36 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada November lalu, sebuah agensi entertainment di Indonesia menerbitkan press-release perihal salah satu talent-nya yang diisukan menjadi “pelakor”, atau pencuri laki orang, karena berselingkuh dengan laki-laki yang sudah beristri sehingga ramai dibicarakan di media sosial sejak bulan Juni lalu. Sejak bulan Juni hingga November, hampir belum ada statement resmi yang dikeluarkan oleh agensi maupun talent tersebut perihal isu yang beredar. Sejak saat itu, masyarakat, dengan didukung oleh bukti dari pihak yang bersangkutan, berasumsi bahwa isu tersebut memang benar dan beramai-ramai menyuarakan untuk melakukan cancel culture kepada talent yang merupakan artis pendatang baru, yang juga sedang naik daun, dan akan meluncurkan beberapa proyek film. Setelah perilisan statement resmi dari agensinya, tidak sedikit masyarakat yang semakin geram karena bentuk klarifikasi tersebut dianggap memojokkan pihak istri, yang merupakan korban dari perselingkuhan tersebut. Walaupun di awal statement disebutkan bahwa talent dari agensi tersebut merupakan korban manipulasi, namun justifikasi tersebut tetap dirasa tidak masuk akal dan tidak menjawab inti permasalahan oleh masyarakat. Oleh sebab itu, penyuaraan untuk melakukan cancel culture semakin digemborkan.

 Tentu saja hal ini tidak ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Beberapa berpendapat bahwa semua manusia melakukan kesalahan, sehingga dia juga berhak mendapatkan pengampunan dan kesempatan untuk belajar dari kesalahannya. Beberapa lagi berpendapat bahwa boleh saja melakukan cancel culture kepada orangnya, tetapi bukan ke proyeknya, karena bagaimanapun banyak orang yang terlibat dalam proyek tersebut dan harus menghidupi keluarganya. Anggapan paling banyak adalah bahwa cancel culture kali ini merupakan permulaan agar kedepannya kejadian seperti ini tidak mudah ditolerir dan hilang begitu saja guna menciptakan rasa takut kepada orang yang akan melakukan perselingkuhan, dan beberapa anggapan lainnya. Dari sini, bisa dilihat bahwa penerapan cancel culture di Indonesia tidak bisa dilakukan secara serempak. Mengapa begitu?

Indonesia merupakan negara dengan kultur kolektivisme. Penelitian yang dilakukan oleh Suwartono, Prawasti, & Mullet (2007), menunjukan bahwa masyarakat Indonesia lebih pemaaf jika dibandingkan dengan negara barat dengan kultur individualisme yang tinggi seperti prancis. Meskipun begitu, ada norma-norma sosial yang tidak tertulis yang dijadikan acuan oleh masyarakat untuk menentukan perbuatan yang benar atau salah, disatu sisi, perihal benar atau salah bersifat relatif. Beberapa orang berpendapat bahwa seseorang layak mendapatkan sanksi sosial atas perbuatannya, namun beberapa diantaranya mampu memaafkan dan memberi kesempatan. Semuanya boleh untuk dilakukan karena merupakan hak berpendapat masing-masing individu. 

Cancel Culture merupakan fenomena pemboikotan secara masal yang dilakukan melalui media sosial terhadap merek dagang ataupun individu tertentu. (Mardeson & Mardesci, 2022) Pertanyaannya, bisakah cancel culture benar-benar memberi sanksi sosial di negara dimana mantan terdakwa korupsi saja masih bisa menjabat di pemerintahan?

 Bisa jadi. Menurut Vaswani et al., (2022), dalam masyarakat yang berkultur kolektif, disaat seseorang melanggar norma sosial yang terbangun di masyarakat, maka ada kecenderungan untuk timbulnya perasaan takut terhadap penilaian negatif dari orang lain sehingga mampu memunculkan kecemasan dan berdampak terhadap kesehatan mentalnya. Karena sekali lagi, yang dibawa bukan hanya identitas yang melekat pada dirinya namun dia juga membawa nama keluarga dan orang-orang disekitarnya. Jadi, memang penerapan cancel culture di Indonesia kurang berdampak jika dibandingkan dengan banyak negara lain, dimana ketika seorang public figure terkena fenomena ini maka karirnya akan menurun dengan drastis bahkan dia akan menghilang bak ditelan bumi, sedangkan di Indonesia dampak negatifnya hanya bersifat sementara, justru hal ini semakin meningkatkan ketenaran orang yang terkena cancel culture. (Mardeson & Mardesci, 2022) Walaupun memang karir orang yang terkena cancel culture di Indonesia bisa jadi akan tetap berjalan lancar di kemudian hari, paling tidak sanksi sosial yang yang diberikan akan tetap terasa untuk beberapa saat.

Sumber Bacaan

Franco, I. M. Analyzing Cancel Culture’s Role in Society. Cover Art, 112.

Mardeson, E., & Mardesci, H. (2022). FENOMENA BOIKOT MASSAL (CANCEL CULTURE) DI MEDIA SOSIAL. JURNAL RISET INDRAGIRI, 1(3), 174-181.

Suwartono, C., Prawasti, C. Y., & Mullet, E. (2007). Effect of culture on forgivingness: A Southern-Asia-Western Europe comparison. Personality and Individual Differences, 42, 513-523.. Personality and Individual Differences. 42. 

Vaswani, M., Esses, V. M., Newby-Clark, I. R., & Giguère, B. (2022). Cultural Differences in Fear of Negative Evaluation After Social Norm Transgressions and the Impact on Mental Health. Frontiers in psychology, 13, 804841. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.804841

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun