Siapa yang tidak mengenal Robin Hood? Terlepas dari apakah ia tokoh fiktif atau nyata, kisah Robin Hood kini telah melegenda hampir ke seluruh penjuru dunia, bahkan kita juga mengenal kisah sejenis seperti Si Pitung dari kisah rakyat betawi. Sekali lagi mari kita pinggirkan latar belakang sejarah maupun asal mula kisah tersebut. Hal yang ingin saya singgung dalam tulisan ini adalah pengaruh dari cerita Robin Hood itu sendiri dan bagaimana efek itu bekerja dalam dunia modern kita ini, bagaimana memilah antara fakta dan opini, opini dan profokasi, profokasi dan cuci otak.
Secara populer, kita mengetahui bahwa Robin Hood adalah sosok pencuri yang membantu orang-orang yang kesulitan, khususnya secara ekonomi. Masalah yang menarik dari kisah ini adalah bagaimana tindakannya bisa menimbulkan dua buah opini dan pencitraan yang saling bertolak belakang. Citra pertama adalah Robin Hood sebagai seorang pembela kebenaran dan keadilan, dengan membantu rakyat yang kesusahan dengan mencuri dari para pejabat yang korup, sedangkan di sisi lain ia juga mencitrakan seorang pencuri yang bertindak sewenang-wenang mencuri harta para pejabat yang ‘ia anggap’ jahat secara sepihak. Cara kita mencitrakan Robin Hood adalah bergantung bagaimana cara menceritakannya, menyampaikan hal yang sama dengan cara penyampaian yang berbeda akan menimbulkan pengaruh yang berbeda.
Sebagai contoh, saya akan menceritakan sosok Robin Hood dengan singkat kira-kira seperti ini. “Robin Hood adalah seorang pencuri. Ia masuk ke rumah-rumah, di saat anak-anak sedang tidur, menjarah barang-barang, membuat keributan, untuk membela kebenaran secara sepihak, padahal tidak semua pejabat itu korup dan bertindak tidak adil. Tindakannya sama saja dengan para koruptor itu, menjarah harta yang bukan haknya. Harta-harta curiannya juga dipakai untuk menggerakkan pemberontakan rakyat kecil yang mudah terprovokasi terhadap negeri yang stabil ini. Dialah Robin Hood, musuh kita semua.”
Mungkin anda akan berpikir contoh di atas terlalu ekstrem, tapi menurut saya tidak berbeda dengan contoh selanjutnya berikut ini. “Robin Hood adalah seorang pembela kebenaran. Ia dengan gagah berani masuk ke rumah-rumah para pejabat korup itu demi nasib rakyat kecil yang telah diperlakukan dengan tidak adil. Mungkin ia adalah seorang pencuri, tapi ia mengambil harta yang seharusnya menjadi milik rakyat, memberi makan rakyat-rakyat yang kelaparan akibat busuknya pemerintahan. Betapa besar pengorbanan yang telah ia lakukan. Sosoknya akan mampu mengubah negeri ini menjadi negeri yang lebih baik. Dialah Robin Hood, pahlawan kita semua.”
Saya pribadi atau mungkin anda lebih akrab dengan contoh kedua, sehingga entah bagaimana, secara tidak sadar saya menganggap Robin Hood adalah seorang pahlawan, bukan penjahat. Hal ini terjadi karena kita terbiasa mendengar cerita Robin Hood dengan cara bercerita yang kedua, atau mirip, meskipun pada kedua contoh, fakta yang dijabarkan adalah sama. Kita terbiasa memandang suatu masalah, suatu individu, maupun kelompok secara hitam dan putih. Sama seperti cara berpikir yang tertanam dalam diri kita tentang penjahat dan pembela kebenaran, seperti dalam kisah-kisah superhero ala Amerika, Batman melawan Joker, Superman melawan Lex, ataupun Spiderman melawan Venom. Selalu hitam dan putih, baik dan jahat, dan ini menular pada cara pandang kita terhadap banyak hal atau hampir pada semua hal. Seperti dalam kasus Robin Hood, kita akan sibuk mendebatkan statusnya sebagai penjahat atau pembela kebenaran. Dunia ini penuh warna, tidak hanya hitam dan putih bukan?
Mungkin kita akrab mendengar bahwa setiap orang, setiap hal, memiliki sisi positif dan negatif, tidak seluruhnya negatif atau seluruhnya positif, namun seringkali kita tidak menghayatinya. Inilah dunia kita yang penuh warna, kita harus berhenti memandang masalah dengan perspektif yang sempit, karena ia perlahan dapat mengancam kehidupan kita, khususnya dalam kehidupan modern ini, di mana teknologi informasi menjadi begitu canggih, sehingga kita harus mampu menanggapi setiap informasi yang masuk, termasuk tulisan ini, agar tidak mudah terpengaruh begitu saja.
Keadaan informasi yang membanjir, namun tidak diimbangi dengan cara penyampaian berita yang baik, dan diperparah dengan keadaan di mana hampir semuanya berlatar belakang komersil, padahal informasi kecil pun dapat menmberikan dampak yang besar terhadap individu secara khusus, apalagi kepada masyarakat secara umum. Cara penyampaian yang buruk akan melanggar dualisme Robin Hood, dengan menonjolkan hanya salah satu sisi saja, entah dengan sengaja atau tidak, dan masyarakat akan menjadi korban informasi, tenggelam dalam kebingungan, apatisme, maupun dalam pikiran yang sempit.
Kembali ke masa-masa sekolah, saya teringat bagaimana buku teks pelajaran bahasa mengajarkan kita cara membuat berita yang baik: menarik dan informatif. Belakangan, apa yang saya lihat di media massa, kriteria ‘menarik’ jauh lebih penting daripada ‘informatif’, entah karena komersialisasi atau ada tujuan tertentu di belakangnya. Masih di buku teks pelajaran bahasa, untuk membuat berita yang menarik, perlu dipakai bahasa yang ‘menarik’ pula, entah itu provokatif atau sedikit unik, yang penting orang jadi tergerak untuk membaca atau mendengar atau menonton. Apakah ini tidak berbahaya? Informasi kini benar-benar telah menjadi barang dagangan yang berbahaya, sulit dijadikan sebagai landasan untuk bertindak. Ketika sisi ‘menarik’ terlalu diprioritaskan, dualisme Robin Hood mungkin akan dikorbankan, beberapa bagian didramatisir, bahasa yang kurang bertanggungjawab, ada provokasi kuat bagi para penerima informasi, tanpa membiarkan sang penerima informasi memilah mana bagian yang benar atau salah.
Pada akhirnya, dalam keadaan sekarang, kita secara tidak sadar ‘dipaksa’ percaya bahwa Robin Hood adalah seorang pahlawan, bahwa pemerintah adalah pihak jahat, bahwa agama tertentu mengajarkan terorisme, bahwa seorang pemimpin adalah seorang diktator, bahwa sebuah negara adalah polisi dunia, bahwa wanita harus berpakaian modis bahkan cenderung minim untuk terlihat menarik, bahwa hubungan di luar nikah adalah sah-sah saja, bahwa budaya tertentu lebih maju, dan budaya lainnya tertinggal, bahwa menjadi selebriti itu menyenangkan, bahwa uang adalah segala-galanya, bahwa musik tertentu bagus, dan musik lainnya jelek, bahwa kebenaran adalah apa yang berita katakan.
Tulisan ini ditulis hanya untuk tujuan instropeksi, bukan offense pada pihak manapun. Anda boleh setuju dan tidak, dan tulisan saya pasti punya kesalahan, karena saya manusia, karena kita manusia, dan itu bukan hal yang memalukan. Terimakasih.
Surabaya, 27 April 2012
Fajar La Tibo Sani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H