Zaman sekarang ini, banyak media yang tak lagi memperhatikan kode etik jurnalistik. Hanya segelintir media yang benar-benar memperhatikan kode etik. Kebanyakan malah berisi berita yang tidak sesuai fakta, bahkan cenderung dipelintir demi kepentingan satu pihak atau demi kepentingan bisnis pemberitaan saja. Sepertinya isi berita yang bisa memancing respon negatif pembaca lebih dikedepankan.
Dalam beberapa kasus, ada saja berita yang menyajikan informasi yang tak sesuai dengan berita sebanrnya. Bahkan, ada beberapa media online yang menyajikan informasi copas (copy paste) dari media online. Parahnya, berita yang dicopas pun berita yang abal-abal alias tidak jelas kevalidannya.
Bagaimana pun, media dalam menyajikan informasi hanyalah sebagai corong, tidak ada unsur memihak satu pihak saja. Apalagi ketika media meliput kasus yang sedang dalam proses persidangan, misalnya, media harus bisa menempatkan diri sebagai pemberi informasi yang sesuai fakta. Misalnya, dalam kasus persidangan Jero Wacik.
Dalam perkembangan sidangnya, setelah pihak Jaksa Penuntut Umum menuntut hukuman Sembilan tahun, dan pihak hakim memutuskan hanya empat tahun, pihak Jaksa Penuntut Umum melakukan banding dengan mempertahankan tuntutan Sembilan tahun. Catat baik-baik di sini: Yang melakukan banding adalah pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU), bukan Jero Wacik. Namun, berita yang beredar di beberapa media menyebutkan Jero Waciklah yang melakukan banding. Contohnya dalam beberapa berita diberi judul: "Banding Jero Wacik Ditolak Pengadilan Tinggi Jero Siap Meringkuk 4 Tahun di Penjara". Ada lagi judul berita "Pengadilan Tinggi Jakarta Tolak Banding Jero Wacik". Lah, yang melakukan banding, kan, JPU, bukan Jero Wacik! Semua berita itu bertentangan dengan fakta.
Kalau media saja tidak menyajikan informasi yang sesuai fakta persidangan, bagaimana masyarakat bisa tahu informasi yang benar-benar akurat? Apakah dengan menyajikan berita yang tidak akurat itu salah satu cara media untuk memviralkan dan meningkatkan rating sebuah berita? Saya pikir itu benar-benar cara yang salah dan jelas melanggar kode etik jurnalistik.
Belum lagi berita-berita lain yang menyangkut fakta di persidangan. Fakta di persidangan membuktikan Jero Wacik tidak pernah menerima gratifikasi. Beberapa orang yang bersaksi di persidangan memberikan kesaksian tidak pernah memberi gratifikasi kepada Jero Wacik. Namun, beberapa media memelintir fakta tersebut. Di beberapa berita, masih saja disebutkan Jero Wacik telah menerima gratifikasi. Tuduhan telah melakukan pemerasan pun gugur dengan adanya bukti dan saksi yang membantah tuduhan itu. Jero Wacik dituduh melakukan pemerasan dana kick back saat menjabat sebagai Menteri ESDM. Dana kick back yang disangkakan itu sudah ada sejak tahun 2010, sedangkan Jero Wacik baru menjabat sebagai Menteri ESDM pada tahun 2011. Jelas tuduhan itu gugur. Namun, media terus saja menggelindingkan berita-berita pembodohan publik yang tidak sesuai fakta persidangan.
Beberapa waktu lalu saya pernah membaca sebuah status seorang pakar jurnalistik, Kamsul Hasan. Dalam status Facebooknya (https://www.facebook.com/kamsulhasan/posts/1248246115207647), Kamsul Hasan menyebutkan kode etik jurnalistik terdapat dalam Pasal 18 auat (2) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers maupun Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang disahkan Dewan Pers.
Lebih rinci di status itu tertulis seorang jurnalis harus menuliskan berita berdasarkan asas praduga tak bersalah, yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pers maupun Pasal 3 KEJ. Seorang jurnalis harus bisa membedakan mana kasus yang masih ditetapkan sebagai tersangka dan mana kasus yang sudah mencapai vonis akhir, bukan malah dengan berita tuduhan. Contoh kasus, ada seorang pejabat yang menjadi tersangka korupsi. Maka, dalam penyajian berita, jangan sekalipun seorang jurnalis menyebutkan tersangka korupsi itu koruptor. Koruptor dan tersangka korupsi itu berbeda. Tersangka korupsi itu masih disangkakan melakukan tindak korupsi dan masih menjalani proses persidangan, sedangkan koruptor itu sudah final divonis korupsi. Contoh lainnya, misal ada kasus pembunuhan dengan tersangka si X. Tidak serta merta si jurnalis menyajikan berita dengan nada tuduhan si X adalah pembunuhnya. Itu kode etik yang sering dilanggar beberapa media.
“Asas praduga tak bersalah ini penting diterapkan wartawan dan atau pers karena tidak semua tersangka diputus bersalah sebagai koruptor. Bahkan kita mencatat setidaknya ada sejumlah orang yang status tersangkanya dibatalkan praperadilan seperti Budi Gunawan dan Dahlan Iskan serta lainnya,” tulis Kamsul Hasan di statusnya.
Begitu juga dengan kasus Jero Wacik. Seperti yang saya sebutkan di atas, banyak berita yang tidak sesuai dengan jalan persidangan. Jadi, tidak hanya melanggar asas praduga tak bersalah, beberapa media juga sudah melanggar kode etik jurnalistik dengan memutarbalikkan fakta di persidangan. Semoga semakin banyak media yang sadar pentingnya kode etik jurnalistik. Semoga kasus Jero Wacik akan menemukan titik terang.
Jogja, 080916