Mohon tunggu...
Lathifah Edib
Lathifah Edib Mohon Tunggu... Penulis - Editor

Perempuan nokturnal, suka keluyuran di jalanan, dan berburu bebek goreng.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kasus Jero Wacik Setelah JPU Melakukan Banding

28 Juni 2016   09:09 Diperbarui: 28 Juni 2016   18:34 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Persidangan kasus Jero Wacik masih bergulir. Banding yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas putusan hakim terhadap Jero Wacik ternyata ditolak oleh Pengadilan Tinggi. Dalam artian, Pengadilan Tinggi menolak banding JPU serta mendukung hasil putusan hakim. Seperti diketahui, JPU tetap ngotot ingin mempertahankan tuntutan hukuman 9 tahun dengan denda 350 juta dan uang pengganti 18,79 miliar ke Jero Wacik, sementara pada tanggal 9 Februari 2016 hakim sudah memutuskan hukuman 4 tahun dengan denda 150 juta dan uang pengganti sebesar 5,07 miliar.

Jero Wacik ditahan sejak 14 September 2014. Jero Wacik menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) pada tahun 2004-2011, di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Selama menjabat sebagai Menbudpar, banyak prestasi yang dihasilkan Jero Wacik. Prestasi itu tentu saja meningkatkan dunia kepariwisataan Indonesia, khususnya paska terjadinya bom Bali dan tsunami. Devisa negara dari bidang pariwisata meningkat drastis setelah Jero Wacik menjabat sebagai Menbudpar. Jero Wacik juga mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena keberhasilannya selama menjadi menteri.

Setelah menjabat sebagai Menbudpar, Jero Wacik kembali diangkat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2011-2014. Banyak juga prestasi Jero Wacik saat menjabat sebagai Menteri ESDM. Jero Wacik mampu menaikkan produksi proyek Cepu menjadi 165 ribu barel per hari setara dengan 86 triliun rupiah per tahun. Penyelesaian pembangkit listrik tahun 2011 hingga 6000 MW dan renegosiasi harga gas tangguh yang semula 2,7 dolar per metrik ton, menjadi 8 dolar per metrik ton.

Namun, pada tahun 2014 Jero Wacik dituduh melakukan tindakan korupsi. Banyak tuduhan yang dilayangkan JPU (dalam hal ini berarti KPK) yang tidak berdasar dan tanpa bukti. Dalam proses persidangan, tuduhan KPK ternyata hanyalah isapan jempol semata. Pertama, tuduhan Jero Wacik melakukan suap ke Don Kardono (Pemred Indopos) sebesar 3 miliar. KPK menuduh Jero Wacik memberi arahan langsung ke Don Kardono agar melakukan pencitraan diri pribadi Jeor Wacik. Dalam persidangan, tuduhan itu terbantahkan dengan kesaksian Don Kardono. Jero Wacik tidak pernah bertemu secara langsung dengan Don Kardono. Memang benar ada program publikasi program-program Kemenbudpar, bukan sosok Jero Wacik. Proses kontrak dengan Indopos pun dilakukan oleh Sekjen Kemenbudpar, Waryono Karno, bukan Jero Wacik.

Tuduhan kedua adalah Jero Wacik menyalahgunakan Dana Operasional Menteri (DOM) untuk keperluan pribadi. Mengenai tuduhan tentang DOM ini, Jusuf Kalla yang sewaktu Jero Wacik menjadi menteri menjabat sebagai wakil presiden, bersedia menjadi saksi yang meringankan Jero Wacik. “DOM itu memang untuk membantu menteri dalam menggunakan anggaran pada kegiatan yang tidak resmi, tapi itu seperti representasi. Seolah-olah pribadi, tapi itu tidak bisa dipisahkan antara urusan menteri dengan urusan pribadi,” kata Jusuf Kalla saat memberikan keterangan sebagai saksi untuk terdakwa Jero Wacik, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (14/1/2016).

Jusuf Kalla juga menambahkan, setiap menteri diberi keleluasaan dalam penggunaan DOM. Sebagai Menbudpar sangat wajar Jero Wacik perlu DOM untuk mendukung aktivitasnya. Tugas Jero Wacik tidaklah mudah. Dia harus mengembalikan citra pariwisata Indonesia setelah musibah yang berturut-turut menghantam Indonesia, seperti kasus bom Bali, gempa Jogja, serta tsunami Aceh.

Pihak Jaksa Penuntut Umum meminta kuitansi penggunaan DOM dari pihak ketiga. Jelas permintaan itu tidak sesuai dengan ketentuan seperti yang tercantum dalam PMK Nomor 268 Tahun 2014, Pasal 3 ayat (2). Dana sebesar 80% diberikan secara lumsum (dibayar sekaligus tanpa perlu rincian kuitansi) kepada Menteri. Sisa dana yang 20% untuk dukungan operasional lainnya. Sementara, KPK hanya terpaku pada peraturan jadul di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 3 Tahun 2006.

Tuduhan lainnya adalah Jero Wacik menerima dana gratifikasi senilai 340 juta untuk perayaan ultah di Hotel Darmawangsa. Jusuf Kalla dalam kesaksiannya mengungkapkan, acara di Hotel Darmawangsa bukanlah perayaan ultah semata, melainkan peluncuran buku Jero Wacik di Mata 100 Tokoh. Banyak yang tidak tahu, sejak Jero Wacik jadi Menteri ESDM, secara otomatis dia mendapat penghargaan khusus dari Hotel Darmawangsa. Apa pun kegiatan yang dilakukan di Hotel Darmawangsa itu gratis!

Tuduhan yang tidak masuk akal lainnya adalah dugaan penyimpangan anggaran dana di kementerian ESDM. Pada 16 Juli 2014, KPK memanggil Jero Wacik atas tuduhan penyimpangan anggaran dana di Kementerian ESDM pada tahun 2010. Lagi-lagi ini sesuatu yang “aneh”. Bukankah Jero Wacik baru menjadi Menteri ESDM pada Oktober 2011? Mengapa penyimpangan anggaran dana tahun 2010 dia yang harus menanggung? Segala bukti dan saksi pun dianggap angin lalu oleh KPK.

Sayangnya, JPU dan KPK seperti buta dengan jalan persidangan. Mereka tidak mencoba mengaitkan fakta di persidangan serta saksi-saksi dan bukti-bukti yang menyangkal segala tuduhan. Setelah hakim memutuskan hukuman empat tahun, lebih ringan dari tuntutan JPU, JPU tetap saja ngotot mempertahankan segala tuduhan dan tuntutan sembilan tahun. Padahal, jelas sekali hakim berkata bahwa Jero Wacik hanya terkena efek ulah bawahannya. Jero Wacik hanya kurang mengontrol kinerja bawahannya. Sebagai pimpinan, menurut hakim, Jero Wacik bertanggung jawab atas kerugian negara yang dilakukan oleh bawahannya.

Hal yang membuat saya tak habis pikir, bagaimana bisa JPU dari KPK yang tentunya mengikuti proses persidangan malah mengabaikan proses persidangan itu sendiri? Banyak fakta di persidangan yang mereka abaikan. Apakah memenjarakan seorang tersangka korupsi itu sebuah prestasi, sedangkan gagal menghukum berat tersangka korupsi padahal nyatanya tidak salah itu sebuah kegagalan KPK? Apakah karena terlanjur menuduh Jero Wacik korupsi, lantas KPK menutup mata untuk bertindak adil dan jujur? Apakah KPK begitu gengsi mengakui telah keliru menuduh Jero Wacik dan akhirnya melakukan berbagai cara agar tuduhan mereka valid (meski sama sekali tak valid)? Apa KPK takut kinerja dinilai buruk karena gagal memenjarakan orang (tak peduli benar ataupun salah orang itu)?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun