[caption caption="Photo Reference: (Widya, 2016)"][/caption]
Â
Perseteruan antara pengemudi taksi konvensional dan taksi data jaringan (daring) bukanlah hal yang baru di negara-negara besar. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat masih dalam proses membuat regulasi yang adil untuk semua pihak. Di China, pemerintahnya sudah melarang perusahaan semacam Uber beroperasi sejak Januari 2015.
Tidak ada yang salah dalam konflik ini karena ini adalah bagian dari perkembangan jaman yang semakin modern. Tentu saja tidak ada yang memprediksi kelahiran aplikasi semacam Uber yang fenomenal ini, seperti tidak ada yang memprediksi efek fenomenal media social layaknya Facebook dan Twitter pada pesta politik di Indonesia. Bukan salah pemerintah, pembuat aplikasi, pengembang bisnis, ataupun supir taksinya yang berdemonstrasi di jalan.
Konflik semacam ini terjadi dikarenakan perebutan sumber penghasilan yaitu penumpang. Eskalasi konflik memanas karena terjadinya perpindahan penghasilan dari jasa taksi konvensional ke taksi daring ditambah belum siapnya negara dengan undang-undang yang mengatur hal ini.
Beberapa pertanyaan dasar yang harus ditemukan jawabannya terlebih dahulu dalam permasalahan ini adalah:
1. Â Â Berapa penghasilan supir taksi yang tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) sebelum dan sesudah adanya taksi daring?
2. Â Â Berapa penghasilan kotor dan bersih perusahaan taksi konvensional dan perusahaan penyedia taksi daring?
3. Â Â Apabila kita menyinggung legalitas Uber sebagai perusahaan berplat hitam, maka apakah siap pengemudi Uber menjadi pengemudi berplat kuning (angkutan umum)?
4. Â Â Bagaimana dengan hubungan antara supir-supir taksi dengan manajemen angkutan taksi konvensional?
5. Â Â Apakah yang sejauh ini sudah dilakukan oleh managemen taksi-taksi konvensional menghadapi competitor yang berbasis online?