Mohon tunggu...
Aditya Idris
Aditya Idris Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Alumni Jurusan Matematika Statistik Angkatan 2009 (S.Si)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dermaga Tanpa Nama

19 November 2014   18:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:24 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dermaga kecil itu menjadi saksi bisu kepergian gadis manis itu. Lelaki itu hanya dapat terhanyut, dibawa suasana hatinya yang sangat tak menentu. Senja di sore itu, di sebuah dermaga tanpa nama perpisahan itu terjadi. Sepasang kekasih yang dipisahkan oleh kenyataan yang mengharuskan mereka akan menanggung kerinduan yang teramat dalam. Kerinduan yang akan menghiasi hari-hari mereka selanjutnya.

Matahari yang berwarna jingga, memberikan warna cerita sendiri. Sang raksasa itu akan segera beristirahat, dan digantikan oleh permaisurinya yang sangat cantik. Hembusan angin sepoi-sepoimenyapa setiap insan yang ada di sana. Gelombang pasang air laut menikmati permainan alam yang diberikan pada mereka. Sungguh nuansa alam yang benar-benar indah.

Namun, tidak untuk mereka. Sepasang kekasih itu. Sang gadis telah membasahi kedua pipinya dengan tetesan air bening yang jatuh perlahan-lahan dari mata indahnya itu. Dia tak membiarkan kedua tangannya menghapus titik-titik bening itu. Kedua tangannya kini melambai ke arah pemuda gagah itu. Lambaian terakhirnya. Sang pemuda tak luput dari suasana mengharukan itu. Dia mencoba untuk tegar. Melepaskan wanitanya pergi darinya. Pergi untuk merantau ke negeri seberang. Mencari kehidupan yang lebih baik, karena tuntutan tanggung jawab terhadap keluarganya.

Kapal kecil itu semakin lama semakin mengecil. Semakin menghilang pula dari pandangan pemuda yang masih berdiri terpaku di sudut dermaga kecil itu. Dia sungguh tak rela membiarkan kepergian gadis itu. Kekasihnya yang tercinta. Namun secara utuh pemuda itu sadar, bahwa dirinya tak mampu berbuat apa-apa untuk mencegah terjadinya perpisahan ini. Sebuah nasib mengharuskan semua ini terjadi.

Senja makin melapuk. Perlahan-lahan setengah badan sang raksasa telah tenggelam di dasar laut itu. Angin mamiri makin dingin menusuk hati. Burung-burung yang terbang itu kini membentuk lingkaran indah di atas langit yang perlahan gelap. Indah. Namun tak dapat dicerna olehnya. Dia yang kini telah merasakan kesepian itu. Dia yang kini terpaku diam karena nasib yang tak adil padanya.

***

Sebuah alunan melodi dari gitar yang kupetik malam ini mengingatkanku pada dirimu yang jauh di sana. Jauh di perantauan. Di negeri seberang yang entah bagaimana keadaannya.

Di Kota Daeng ini, aku tetap menantikan saat-saat indah itu. Saat dimana dirimu akan kembali bersamaku. Menata kehidupan yang telah kita ikrarkan malam itu. Malam dimana saat itu, di bawah terangnya sang dewi malam yang menghangatkan malam kita, karena buaian angin mamiri yang menusuk, kita berdua mengikat satu janji suci. Engkau dengan keyakinanmu yang begitu besar padaku, memberikan apa yang seharusnya tak pernah kudapatkan sebelum ikatan suci perkawinan bertahta antara diriku dan dirimu. Adat istiadat telah kita langgar. Noda telah kita teteskan pada agama kita. Namun tak engkau hiraukan itu. Aku pun mengerti kesetiaanmu padaku. Aku dengan jiwa yang besar berjanji padamu. Berjanji untuk hidup denganmu. Berjanji untuk memberikan balasan atas apa yang telah engkau berikan padaku. Aku menanti kedatanganmu. Kesetiaanku padamu tak akan pernah padam.

Di dermaga tanpa nama ini, kucoba merangkai kenangan demi kenangan yang pernah kita ukir. Gitar ini telah kupetikkan untukmu yang jauh di sana. Tahukah engkau bahwa akan kunyanyikan sebuah lagu rindu untukmu. Kuharapkan angin dapat membawa melodi-melodi ini padamu, agar engkau tahu rasa rinduku padamu.

Di bawah temaramnya purnama, diiringi gemuruh ombak yang kadang-kadang menyapa batinku, kurangkai kata-kata sederhana yang memenuhi batinku saat ini untukmu. Aku merangkaikan kata demi kata ini hanya untukmu seorang. Sebuah kata sederhana kini tersirat dihatiku. Kuungkapkan setiap hela nafas yang kurasakan malam ini. Dengarkanlah, ungkapan rasaku padamu. Dengarkanlah isi hatiku ini.

Sebuah tanya…

Menjelang malam makin melapuk…

Merajut tanya yang makin membuncah dalam dada seorang pujangga.

Mengutus imajinya mencari apa yang harus dia cari..

Membiarkan khayalnya terus pergi entah kemana…

Tanpa ada arah…

Tanpa ada tujuan…

Kau…. Yang membuat sebuah tanya dalam dada seorang pujangga

Mengapa angin berhembus saat kau ada di sini?

Mengapa rasa ini hadir ketika ragamu tak ada di sampingku?

Mengapa tercipta rasa rindu jika mataku tak memandang wajahmu?

Sungguh sederhana….

Hanya tanya itu yang mampu membuatku bertanya…

Dada seorang pujangga kini telah dirasuki sebuah tanya..

Tanya yang sangat sederhana namun menyiratkan ribuan bahkan jutaan makna

Hanya sebuah tanya….

Ingat….

Ini hanya sebuah tanya…..

***

Tahun berganti tahun. Aku merindukanmu Daeng. Di sini, di sudut kota perantauan telah banyak kuteteskan air mata rindu untukmu. Masih tersimpan di memoriku keindahan malam itu. Saat dimana telah kubuktikan cintaku padamu. Sang dewi malam, bintang gemintang yang berkelap-kelip berkilauan, sapaan angin mamiri yang begitu mesra menjadi saksi keabadian cinta kita. Telah kuberikan mahkota cintaku padamu. Kubiarkan dirimu menjamah keperawananku. Tak ada rasa penyesalanku akan hal itu. Biarlah aku menanggung malu pada orang lain yang mencemooh diriku. Aku rela engkau memberikan benih-benih cinta kita saat itu. Malam itu adalah malam terakhir pertemuan kita. Tetes-tetes air mata ini, menjadi saksi kepedihanku akan rinduku padamu yang teramat dalam. Pedih akan kerinduanku padamu dan juga pedih akan kehidupanku di perantauan ini. Daeng, seandainya engkau tahu deritaku saat ini. Sungguh derita di atas derita.

***

Teriakan keras dari seorang lelaki memaksa gadis itu untuk membukakan matanya pada jam dua subuh itu. Gadis itu beranjak terbangun dari tempat tidur reognya yang terletak di kamar di sudut rumah besar itu. Dia keluar dengan terbata-bata. Tegang wajahnya berjalan ke arah pintu. Rasa takut dari gadis itu memang sangat wajar. Di balik pintu itu adalah majikan laki-lakinya, seorang pria yang sangat ringan tangan. Tak akan pernah segan untuk mendaratkan tangan kasar dan besarnya itu pada tubuh dan wajah sang gadis. Biru lebam. Sakit yang mendera. Hanya itu yang akan didapatkan sang gadis setiap kali membukakan pintu untuk sang majikan yang baru saja pulang menikmati minuman keras.

“ Kenapa bukanya lama?” Teriak lelaki itu, dengan logat melayu khasnya.

“Maaf Tuan, saya tidak dengar.” Kata sang gadis.

Agaknya sang majikan tak mau menerima alasan apapun. Kembali tamparan keras itu bersarang dipipi kanan sang gadis. Darah segar dari bibirnya kini mengalir seiring dengan mengalirnya tetesan air bening dari mata indanhya itu. Untuk kesekian kalinya sang gadis menerima perlakuan tak pantas. Inikah balasan atas dosanya di masa lalu?

Sungguh ironis nasib sang gadis. Dia yang dengan ikhlas meninggalkan kampung halamannya, keluarga, dan juga kekasihnya untuk merantau mencari kehidupan yang layak, namun ternyata hanya itu yang dia dapat rasakan. Tak sekalipun dia mampu menghubungi siapapun. Layaknya seorang narapidana yang terkurung dan terisolasi di dalam ruangan yang tak satu manusia luar mampu menembusnya.

Sang gadis hanya dapat pasrah dengan kehidupannya saat ini. Dia sangat ingin kembali pulang ke kampung halamannya. Kembali menikmati kehidupan yang telah lama tak dia rasakan keindahannya. Kembali untuk seseorang yang menunggunya dengan setia di sudut Kota Daeng.

***

Untukmu adikku yang jauh di sana. Kuharapkan kebahagiaan terus bersamamu. Terus menyertai langkah-langkahmu. Kembali ingin kutorehkan kata-kata ini untukmu. Kurangkaian hanya untuk dirimu, sebagai perwakilan atas rasaku padamu saat ini. Aku tak mau tahu, entah kau dengarkan atau tidak. Kembali kubiarkan mamiri membawanya padamu. Membawa rangkaian kata-kata indah ini untukmu. Untukmu yang jauh di sana.

Saat raga mulai lelah memandangi malam gulita

Ku lekatkan imajiku pada seorang wajah yang ingin ku kenang

Di bawah gulita aku tersenyum….

Senyum rindu yang terkesan dipaksa…

Siluet wajahmu terus membayangi gulita malam ini

Meski aku lelah mengkhayalkan dirimu…

Namun, tak mampu hatiku menolak kedatanganmu malam ini…

Rinduku di bawah gulita…

Menahan beban yang ku pikul saat ini

Rinduku di bawah gulita…

Wajahmu ku harap menjauh dari kehidupanku

Aku tak mau engkau hadir malam ini

Aku ingin menikmati setiap detik sendiri…

Hanya sendiri….

Namun….

Rindu tetap ada…

Rindu yang bersembunyi di bawah gulita

***

Enam tahun sudah sang gadis meninggalkan kampung halamannya. Meninggalkan semua kenangan indah itu. Ingin rasanya dia kembali. Pulang untuk menikmati detik-detik kebahagiaan hidupnya yang telah lama terkubur, bersama dirinya di dalam rumah megah ini. Tak ada yang dapat dia ungkapkan lagi. Rasa rindunya sudah tak terbendung lagi. Untuk siapapun yang mencintainya.

Tak ada yang mengerti dirinya di rumah megah itu, kecuali anak gadis majikannya yang seusia dengannya. Hanya dia yang dapat mengerti keadaan sang gadis. Hanya dia yang dapat merasakan penderitaan yang dialami sang gadis malang itu. Tak jarang pula, diapun kena marah orang tuanya karena membela sang gadis yang teraniaya itu.

Suatu malam ketika seluruh penghuni rumah pergi, dia mendatangi kamar sang gadis.

“ Betahkah awak tinggal di rumah yang macam neraka ini?” Tanyanya dengan penuh belas kasihan.

“Engkau tahu penderitaanku. Tentunya kau pun tahu apa yang kuinginkan saat ini. Aku rindu kampung halamanku. Aku rindu keluargaku. Aku rindu pada semuanya. Tapi, itu semua percuma. Tak ada kesanggupanku untuk pergi dari tempat ini. Aku tak bisa” Kata sang gadis dengan mata mulai berderai air mata.

“Sabarlah. Maukah awak pergi dari sini? Aku akan menolong awak lari dari tempat ini. Aku pun tak tega melihat dirimu terus tersiksa macam ini. Aku tahu betul apa yang kau rasakan. Saat ini, semua keluargaku sedang pergi. Larikah awak. Pergi dari kehidupanmu saat ini. Kembalilah pada kehidupanmu sebelumnya. Kehidupanmu yang indah itu. Pergilah”.

“Tapi, bagaimana caranya?”

“Tenanglah. Ikutlah denganku. Kau akan aman. Ini, ada uang untukmu. Pergunakanlah untuk mengurus kepulanganmu ke Indonesia. Pergilah.”

Sang gadis pun akhirnya pergi. Berhasil melepaskan diri dari kehidupan yang telah memenjarakan kebahagiaannya. Berharap, sang pemuda masih setia untuknya.

***

Angin mamiri masih terus menyapa. Sang gadis menghirupnya dalam-dalam, layaknya baru menemukan angin sesegar itu. Dia kini telah tiba di kampung halamannya. Dermaga itu kini telah banyak berubah. Namun, baginya tak ada yang berubah. Dia tersenyum, mengingat masa lalunya yang indah di dermaga ini. Bersama dengan pujaan hatinya.

Suara ombak berdebur menandakan pasang yang terdengar sayup menyampaikan bahwa pasang telah mulai datang. Tak ubah detak jantung manusia yang mengeras bila suatu yang menakutkan atau kebimbangan datang menerpa.

Matahari bersinar terang menyinari laut beralun tenang. Perjalanan waktu tak pernah disadari manusia. Senja itu masih terasa hangat menerpa tubuhnya. Kerinduannya kini akan segera terobati. Gelombang pasang menyambut kedatangannya sore itu. Sampan kecil itu bergoyang seiring hentakan air laut yang menyapanya. Sang gadis turun dari sampan dan segera melangkah.

“Daeng. Aku datang. Aku telah datang. Membawa semua kenangan kita. Membawa keindahan hidup kita yang tertunda. Dan, membawa kenangan cinta kita malam itu. Daeng, sambutlah angringmu. Cintamu ini”.

***

Aku yang dulu setia padamu. Aku yang sangat mencintai dirimu. Aku yang terus mengharapkan kedatanganmu di sisiku. Sekian lama telah aku menunggu dirimu.

Janur kuning di depan rumahku telah melengkung indah. Sanak famili telah datang membawa kebahagiaan mereka untukku. Terasa sungguh suasana pesta yang begitu sangat meriah. Iring-iringan pengantin memakai pakaian baju bodo, lamming yang tertata indah di halaman rumahku. Kini, aku layaknya seorang raja yang bertahtakan keindahan yang sangat menawan. Segala macam hidangan telah tersedia di hadapanku. Dan, yang paling penting, ijab kabul kini telah kuucapkan padanya. Aku resmi menjadi seorang suami. Resmi menjadi seorang yang memiliki tanggung jawab kepada seorang gadis.

Adikku. Maafkan aku. Bukan maksudku mengkhianati dirimu. Aku tak berniat melanggar sumpah setiaku padamu. Namun, keluargaku berkata lain. Telah lelah mereka menantikan diriku untuk segera bersanding di pelaminan. Aku telah menolak, namun adat telah membungkamkan egoku itu. Aku telah dijodohkan oleh gadis pilihan orangtuaku. Dinda, kau tak tahu hatiku kini meringis. Aku menangis.

Aku tak sanggup melihat dirimu berderaian air mata di hadapanku. Aku tahu, engkau kembali demi diriku, namun aku tak mampu berbuat apapun. Diriku terlalu lemah menentang keinginan orangtuaku. Aku takut melawan adat. Aku tak sanggup melanggar kemauan orang tuaku. Aku tahu, pasti kini kau sangat tersiksa. Aku pun merasakan demikian. Namun, apa boleh buat. Semuanya telah terjadi. Inilah aku, yang lemah. Yang melanggar sumpah setia. Aku, yang tak mampu memenuhi janjiku padamu. Maafkan aku. Maaf!!

***

Daeng. Kau tahu, betapa hancurnya hatiku menyaksikan dirimu bersanding di pelaminan. Aku berharap kesetiaanmu padaku. Aku telah menantikan saat-saat di mana kebahagiaan kita akan sempurna. Namun, ini semua telah berakhir. Aku telah sadar. Aku telah terbangun dari mimpi indahku, dan telah menghadapi kenyataan buruk ini. Daeng, aku sangat mencintaimu.

Daeng, biarlah aku yang menanggung semua dosa manis yang telah kita lakukan. Aku tak akan pernah membuka tabir cinta kita ini pada siapapun. Biarlah aku yang menjadi cemoohan orang-orang sekitarku. Siri na pacce telah kurasakan. Meski ku tak sanggup menanggung beban ini sendiri, namun kebahagiaanmu jauh lebih penting.

Daeng, aku akan pergi dari kehidupanmu. Membawa semua derita pedih karenamu. Kuharap engkau dapat bahagia dengan semua yang telah menjadi takdir hidupmu. Dan, perlu kau tahu Daeng. Bahwa sebuah tanyamu untukku kini telah kujawab, dan janjiku padamu untuk menjawabnya telah terlaksana. Daeng, aku mencintaimu. Dan begitu pula anakmu. Buah hati kita yang akhirnya harus menanggung kerinduan akan pelukan seorang ayah.

***

BIODATA PENGIRIM

Nama Lengkap: Aditya Idris

Nama pena: Ditya HP Latervilla

pekerjaan: Mahasiswa Jurusan Matematika UIN Alauddin Makassar

Alamat: Jl. Tamalate VII Setapak 30 No. 292 Kel. Mappala Kec Rappocini Kota Makassar Sulawesi Selatan.

No Hp: 085 214 054 514

Alamat Email: latervilla@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun