Tidak berbeda dengan teman seperjuangan lainnya, ia hanyalah seorang pembantu rumah tangga, ia dan suaminya yang bekerja sebagai supir di sebuah keluarga kecil di negeri rantau, aku pernah menjumpainya dirumah temanku. Dan aku melihatnya ia memang telah tua tapi walaupun kerjanya sangat lambat tapi ia tetap semangat untuk bekerja. Bekerja di usianya yang mencapai 55 tahun memang terasa tidak pantas lagi, disamping penyakit gula yang menimpanya, ia tetap mempunyai harapan dan mempunyai keikhlasan untuk selalu bekerja.
Pernah suatu hari aku bertanya pada temanku : layaknya perempuan tua ini harus beristirahat dan pulang ke kampong halamannya ?
Ia menjawab : ia masih mempunyai anak-anak yang belum rampung kuliahnya, sehingga ia harus tetap bekerja untuk membiayai mereka, semoga Allah memberikan pertolongan kepadanya dan keluarganya, ungkap lidahnya tak tertahankan.
Tapi belakangan aku sudah tidak melihat Jumanah lagi sejak 3 tahun lalu, aku penasaran dan bertanya lagi pada temanku ? temanku sambil menyerupun kopi Arabicnya menjawab : ia sudah lama pulang dan duduk manis dikampung halamannya. Pantas dan memang sudah selayaknya ungkapku tanpa ragu, ia telah berbuat dan bekerja banyak untuk keluarganya, tanpa terasa kedua mata temanku berlinangan air mata dan selanjutnya diikuti senyum yang mengherankan.
Ada apa sebenarnya tanyaku penasaran ?
Jumanah telah menggapai cita-citanya, ia sekarang bangga dan bahagia karenanya ia memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai TKW disini.
Hah, kenapa, kenapa ? tujuannya telah tergapai ? anak-anaknya telah lulus kuliah, tanyaku tanpa suara ?
Temanku tidak menjawab, tapi ia beranjak dari tempat duduknya dan mengambil sebuah photo masjid indah yang tertulis dipintu depannya dengan ukiran marmer “masjid Jumanah”.
Apa ini ? masjid ? masjidnya ? masjid sang TKW ?
Ia menjawab : ini adalah tujuan dan cita-cita Jumanah yang telah terwujud, salah satu dari cita-citanya adalah membangun masjid dari hasil kerja dan hasil keringatnya sendiri, sebagai sedekah jariyah dan agar hidup matinya menjadi berkah, begitu keyakinannya.
Ketika aku mendengar dan menyaksikan photo masjid tersebut, dunia seakan berputar dan berjungkir balik, dan betapa kecilnya diriku ini, aku merasa sangat-sangat kerdil dihadapan keagungan sang TKW yang bernama Jumanah.
Jumanah telah meletakkan sebuah tujuan mulya yang tidak saja bernuansa duniawi semata tapi juga ukhrawi, ia bukan sekedar cita-cita atau impian yang selalu menemani penat kerja bahkan tidur malamnya, tetapi sebuah usaha dengan berangkat jauh dari kampong halamannya bekerja dengan sungguh-sungguh dengan kekuatan yang tidak pernah terputus-putus walaupun urat tangannya semakin menyiratkan ketuaannya.
Tinggal aku termangu merenengi diriku sendiri setelah tanya jawab panjang dengan temanku ; bila tadi itu merupakan tujuan seorang pembantu buta huruf, lalu bagaimana dengan aku, tujuan kami semua bangsa Arab yang rajin dan mengerti bahasa Al Quran. Kami memang seorang terpelajar, dan kami juga menerima kebaikan doa Ibrahim AS dengan dibukakan keran-keran rezeki yang berlimpah ruah, lalu apa tujuan kami ?
Membangun rumah sebesar istana atau bahkan lebih besar dari rumah saudariku, membeli mobil mewah yang lebih mewah dari mobil tetanggaku, membangun kerajaan bisnisku yang mengalahkan para konglomerat Eropa sekalipun, memasukkan anak-anakku ke kuliah kedokteran atau engineering agar mereka memanggilku bapak atau ibu seorang dokter atau seorang insinyur.
Tiada henti memang keduniaan menguasai alam sadar dan alam tidak sadar kita, lalu siapakah yang merugi sebenarnya ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H