Mohon tunggu...
Laila Ida Syah Jadidah
Laila Ida Syah Jadidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga

Mahasiswa yang hobi membaca dan mengambil video.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mengupas Fenomena Miftah di Dunia Media Sosial

21 Desember 2024   19:22 Diperbarui: 21 Desember 2024   19:22 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Media sosial telah mengubah cara kita mengakses dan menyebarkan informasi secara fundamental. Salah satu fenomena yang mencolok adalah bagaimana platform digital mampu menciptakan sosok yang viral dalam waktu singkat, seperti yang dialami oleh Gus Miftah. Melalui berbagai media sosial, rekaman video aksinya tersebar luas dan menimbulkan berbagai reaksi. Masyarakat pun terpecah dalam memandang sosok kontroversial ini - antara yang mendukung dan mengkritiknya. Salah satu momen yang paling mencuat adalah insiden penghinaan terhadap seorang pedagang es teh bernama Sunhaji di acara Magelang Berselawat. Gus Miftah dengan terang-terangan menyebut pedagang tersebut dengan kata "goblok" di depan khalayak ramai. Tindakan ini mendapat kecaman keras dari berbagai pihak yang menilai perbuatannya tidak mencerminkan sikap seorang tokoh agama. Lebih lanjut, ia juga pernah menghina seniman legendaris Yati Pesek dengan perkataan yang merendahkan martabatnya. Perilaku semacam ini telah merusak citra dan kredibilitas seorang pemuka agama yang seharusnya menjadi teladan.

Namun, apa yang membuat fenomena ini begitu masif? Jawabannya terletak pada algoritma media sosial. Konten yang bersifat provokatif dan mampu memicu perdebatan secara sistematis didorong oleh algoritma untuk mendapatkan perhatian maksimal. Semakin besar interaksi, seperti like, share, atau komentar, semakin sering konten tersebut muncul di layar pengguna lain. Pola ini menciptakan siklus yang tak terelakkan: konten kontroversial lebih mungkin menjadi viral, dan pada akhirnya memperluas jangkauan pesan yang disampaikan Gus Miftah. 

Keberadaan media sosial juga memungkinkan Gus Miftah membangun identitas publik yang berbeda dari tokoh keagamaan tradisional. Dengan gaya komunikasi yang santai namun tajam, ia berhasil memanfaatkan platform digital untuk memperkuat personal branding sebagai figur religius yang inklusif dan out-of-the-box. Namun, demokratisasi penyebaran informasi ini juga menghadirkan tantangan. Media sosial telah meruntuhkan hierarki tradisional dalam penyampaian pesan keagamaan, memberikan ruang bagi siapa saja untuk menjadi pembicara. Hal ini memang membuka peluang partisipasi yang lebih inklusif, tetapi juga meningkatkan risiko distorsi makna. Masyarakat tidak lagi menjadi penerima pasif; mereka kini berperan aktif dalam mendistribusikan ulang dan menginterpretasikan konten yang mereka konsumsi.  Dampaknya terhadap masyarakat pun tidak sederhana. Di satu sisi, Gus Miftah memanfaatkan platform ini untuk menyampaikan dakwah secara masif dan efisien. Di sisi lain, konten yang kontroversial kerap menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat. Setiap pernyataannya menjadi bahan diskusi, bahkan perdebatan, yang sering kali mempertegas perbedaan pandangan di ruang publik. Media sosial bukan lagi sekadar medium, tetapi telah menjadi arena pertarungan makna yang memengaruhi persepsi publik secara langsung. 

Melihat fenomena ini, literasi digital menjadi kebutuhan mendesak. Masyarakat perlu memahami bahwa media sosial bukanlah ruang netral. Algoritma, preferensi pengguna, dan dinamika sosial di dalamnya secara aktif membentuk informasi yang kita terima. Maka, sikap kritis terhadap konten yang dikonsumsi sangat penting, terutama ketika menyangkut isu-isu sensitif seperti agama. Selain itu, pendidikan formal, khususnya di perguruan tinggi, memiliki peran strategis untuk menanamkan kesadaran akan tanggung jawab dalam produksi dan konsumsi konten. Generasi muda perlu diperlengkapi dengan keterampilan literasi digital yang kuat untuk menghadapi kompleksitas informasi di era ini. Media sosial bukan hanya teknologi; ia adalah ruang di mana realitas sosial kita terus didefinisikan dan diredefinisi setiap hari. 

Dengan memahami fenomena Miftah, kita tidak hanya melihat bagaimana informasi keagamaan menyebar di era digital, tetapi juga bagaimana media sosial membentuk lanskap sosial, politik, dan budaya kita. Fenomena ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap unggahan, ada mekanisme kompleks yang perlu kita cermati dengan bijak. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun