Â
Sumber gambar : rayasoraya.blogspot.com
Â
***
Tuhan...
Sejenak aku berfikir, hidup ini seperti apa? Setiap hari aku melihat gemintang berpesta di langit, memperagakan pesonanya. Tapi tak sekalipun aku melihat mereka lelah. Aku juga tak melihat mereka pongah. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah di belahan bumi lain, orang juga melihat hal yang sama? Apakah hanya aku yang hidup seperti ini? Kapan aku akan keluar dari semua ini? Tak bolehkah aku membesarkan anakku dengan cara yang lebih baik? Tak dapatkah aku menggantikan cahaya bintang itu bagi hatinya yang terluka di hari tua nanti? Tak mampukah aku yang jadi penerang jiwa mereka yang kerdil.
Setiap langkah kaki ini tak pernah gontai, meski hanya sesuap nasi yang kuperoleh untuk kebahagiaan keluargaku. Kebahagiaan anak-anakku. Kebahagiaan suamiku dan juga kebahagiaan masa depan anakku. Tak pernah aku berani membayangkan masa depan mereka seperti apa. Ku berikan dua tanganku sepenuhnya untuk pengabdian seorang istri. Untuk pengabdian seorang ibu. Meski kelembutan tangan masa mudaku tlah tergantikan kerasnya terpaan hidup . namun tak pernah kusesali setiap jalan yang kutemui berulang-ulang. Setiap rintangan yang kusisiri tak pernah padam. Sekali lagi tak pernah kusesali semua itu.
Di sepertiga malam ini aku bangun lagi Tuhan. Kutengadahkan tanganku hanya untuk meminta pada-Mu. Meminta atas kekerdilan jiwaku, meminta atas kecilnya sukmaku. Meminta atas kebahagiaan keluargaku. Jika aku tak mampu menjadi pelindung bagi anak-anakku nanti, tolong jadikan gemintang ini pelipur lara bagi mereka. Jadikan tangan-Mu pelindung bagi mereka. Dengan doa-doa yang kubulirkan lembut untuk-Mu, jauhkan mereka dari kejamnya dunia. Setiap hela nafas ini hanya harapan yang tercurah untuk mereka Tuhan. Tak lain dan tak bukan. Aku telah menyerahkan sepenuhnya hidupku demi mereka. Sekali lagi lindungi perjalanan anak-anakku Tuhan.
Di sepertiga mala mini juga, tlah kuhabiskan waktu untuk mengais reski di jalan-Mu yang benar. Memulai langkah kecil, ketika orang lain masih nyenyak dengan semua mimpinya. Aku bergerak untuk mengejar mimpi anakku. Hingga tak kubiarkan hatiku bermimpi sedikitpun, bahkan dalam tidur sekalipun. Tak kubiarkan dinginnya malam yang menusuk tulang , membuatku malas untuk berjumpa dengan-Mu, menjemput reski yang tlah Engkau sediakan. Sekali lagi tak akan pernah kubiarkan.
Aku mengadu padamu Tuhan, dengan penuh kerendahan hati. Jika ada yang bertanya padaku, maka satu hal yang tak pernah mampu kujawab. Seperti apa rupa ibuku? Tak mampu aku menjelaskannya Tuhan. Kecuali air mata tertahan yang mampu menguraikannya. Aku tak diizinkan untuk mengingat wajahnya. Aku tak ditakdirkan untuk lebih lama berada dalam dekapannya. Umur enam tahun tak cukup kuat untukku menyimpan memori kelembutan kasihnya. Tak mampu bagiku mengingat kehangatan peluknya. Tak mampu juga bagiku merasakan asupan manjanya di wajahku. Bahkan hanya untuk mengingat bagaimana ia membelai rambutku saja, aku tak mampu. Kau terlanjur mengambilnya untuk jadi kekasih-Mu.
Itulah yang kuingat ketika aku membesarkan anak-anakku. Aku tak ingin mereka sepertiku. Terlunta seorang diri tanpa ibu. Mencari jalan dimana ku kan mengadu. Tapi kutau bahwa ia tak pernah pergi. Meski aku tak pernah melihatnya secara rupa, namun kuyakin ia tetap melihatku. Begitu juga aku pada-Mu.