Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan biodiversitas daratan terkaya kedua setelah Brasil ternyata sedang tidak baik-baik saja. Banyak dari jenis keanekaragaman hayati yang perlahan langka bahkan punah. Banyak faktor yang memengaruhi, diantaranya perburuan liar, serangan penyakit secara massal, bencana alam, hilangnya habitat, bahkan faktor iklim yang tidak mendukung terhadap keberlangsungan hidup suatu mahluk hidup dapat menyebabkan punahnya suatu populasi.
Penangkaran benih padi yang berlokasi di Jorong Kampung Jambu merupakan salah satu penangkaran benih padi di bawah binaan PPL Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Beberapa waktu terakhir penangkaran benih padi ini giat membudidayakan padi varietas lokal Sumatera Barat, seperti Bujang Marantau, Anak  Daro, Cisokan, dan Talua Lauak. Varietas lokal yang dikenal dengan rasa, aroma, dan tekstur nasi yang diminati lidah minang ini telah dipasarkan hingga luar kota, seperti Tanah Datar dan Payakumbuh. Petani penangkar mengaku merasa bangga telah ikut serta dalam menjaga dan melestarikan biodiversitas lokal yang dicemaskan sewaktu-waktu dapat saja hilang. Kecemasan ini bukan semata-mata alibi saja. Nyatanya, varietas hibrida cenderung lebih banyak dibudidayakan dalam beberapa dekade terakhir karena dipandang lebih menjanjikan keuntungan. Hal ini disebabkan varietas hibrida dirancang secara genetik untuk memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap cekaman lingkungan ekstrem dan lebih toleran terhadap organisme pengganggu tanaman. Rekayasa genetika ini dilakukan agar pasokan pangan selalu tersedia meski dalam keadaan ekstrem sekalipun. Namun tentunya kekayaan keanekaragaman hayati yang telah dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa harus dijaga dan dilestarikan sebagai salah satu bentuk rasa syukur kepada-Nya. Salah satu tantangan terbesar dalam usaha pelestarian keanekaragaman hayati adalah lingkungan yang tidak mendukung.
Dewasa ini perubahan iklim ekstrem yang terjadi secara menyeluruh di wilayah Sumatera Barat membuat petani kesulitan menerka waktu yang tepat untuk menyemai benih. Perubahan iklim juga berdampak besar terhadap keberlangsungan hidup tanaman, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemarau panjang menyebabkan ketersedian air tanah berkurang drastis akibat tingginya evaporasi, meningkatnya populasi hama, dan ketidakmampuan tanaman untuk bermetabolisme dengan baik. Lingkungan ekstrem seperti ini akan menyebabkan tanaman stres sehingga tanaman lebih rentan terinfeksi patogen. Kondisi inilah yang dialami oleh petani penangkar padi varietas lokal Kampung Jambu.Â
Tim peneliti cilik dari SMA Negeri Agam Cendekia melakukan penelitian terkait hal ini mulai dari Mei sampai September 2024. Berdasarkan wawancara langsung dengan petani penangkar seluruh kegiatan petani dalam kegiatan budidaya mendapatkan pelatihan dan pengawasan langsung oleh penyuluh pertanian. hal ini sangat memudahkan petani untuk bertanya banyak hal, termasuk terkait organisme pengganggu tanaman (OPT). Pengamatan yang dilakukan difokuskan kepada pertumbuhan dan perkembangan tanaman, populasi hama ada pada pertanaman, dan tingkat infeksi patogen. Selain itu, juga dilakukan pengamatan mikroskopis untuk melihat keberadaan patogen terbawa benih. Tak tanggung-tanggung, ternyata pengaruh iklim sangat berpengaruh signifikan terhadap hasil produksi padi varietas lokal ini. Berdasarkan wawancara langsung dengan salah satu petani penangkar, sebanyak 12 karung atau setara dengan 35% dari total hasil panen  mengalami bulir hampa.Â
Faktor utama kerugian bagi petani penangkar perubahan iklim ekstrem yang terjadi selama masa tanam. Kemarau panjang yang terjadi pra tanam hingga awal masa vegetatif sempat membuat petani khawatir karena harus berbagi air irigasi dengan petani lain. Perubahan cuaca secara ekstrem kembali terjadi memasuki masa vegetatif awal hingga generatif awal. Hujan lebat disertai angin berlangsung selama hampir tiga minggu. Memasuki fase generatif, kemarau panjang disertai angin kembali terjadi. Hal yang paling disyukuri petani penangkar yaitu batang padi varietas lokal yang cukup kokoh sehingga kerugian akibat robohnya padi yang sedang dalam masa pematangan tidak terlalu besar, walaupun butuh tenaga lebih untuk menopang beberapa rumpun padi yang roboh. Selain angin, kemarau pada vegetatif ini membutuhkan perhatian khusus dari petani karena populasi hama yang meledak secara besar-besaran. Hama walang sangit, tikus, bahkan kepinding tanah yang sebelumnya tidak pernah jadi masalah sebelumnya menjadi lebih ganas dari biasanya. Serangan hama ini memperburuk keadaan tanaman yang sebelumnya terinfeksi patogen pada masa vegetatif akibat keadaan lingkungan yang lembab dalam jangka waktu panjang dimana kondisi ini sangat disukai oleh bakteri, jamur, dan patogen lainnya.
Berdasarkan wawancara dengan petani penangkar hasil panen menurun sangat drastis dari hasil panen sebelumnya. Hasil panen mengalami bulir hampa hingga  12 karung atau setara dengan 35% dari total hasil panen. Berat setiap karung padi biasanya berkisar 56-60 Kg yang berarti petani kehilangan kurang lebih 700 Kg atau setara dengan Rp 10.500.000 pada panen kali ini.
Namun, nyatanya ada masalah yang lebih besar dalam dunia biodiversitas padi varietas lokal, yaitu meningkatnya inventaris patogen terbawa benih padi, seperti cendawan patogen blas, nematoda penyebab pucuk putih padi, dan bakteri puru bulir. Ketiga patogen ini sama-sama dapat masuk ke dalam bulir padi yang telah matang dan berdormansi selama masa simpan. Jika benih terinfeksi ditanam pada lingkungan yang mendukung pertumbuhan patogen tersebut maka kemungkinan petani mengalami kerugian dapat mencapai 60% bahkan sampai 100% tergantung tingkat kerentanan tanaman padi. Hal ini telah terbukti berdasarkan data dari peneliti pada bidang pertanian*). Maknanya kegagalan panen dapat menyebabkan hilangnya suatu varietas.