1928...
1945...
1966...
1998...
Angka-angka itu bukan deret kosong. Angka itu adalah saksi sejarah. Bahwa kita pernah mengukirnya. Ada banyak lagi momentum untuk kita taklukkan. Entah kapan lagi. Entah tahun berapa lagi. Atau, benamkan ini dalam sanubarimu; mari kita ciptakan momentum itu!
Mari berhenti sejenak, lalu menoleh sekitar. Betapa bangsa ini lemah dalam nestapa. Berlapis penderitaan. Berkuadrat kemelaratan. Persis seperti kata Rendra, "Kita telah dikuasai satu mimpi untuk menjadi orang lain. Kita telah menjadi asing di tanah leluhur sendiri".
Kita harus berkata jujur pada nurani. Kita merindukan pemimpin yang menjadi sebenar-benarnya pemimpin. Bukan tukang revisi janji, sebab rakyat bukan dosen penguji.
Tidakkah kau tanyakan pada saudaramu? Berapa sisa hutan yang ada? Berapa harga beras? Berapa harga cabai? Uang kuliahmu sekarang berapa? Untuk apa RUU Kapeka? Perlukah RUU KUHP? Berapa iuran BPJS? Berapa tagihan listrik?
Tidakkah kau sadari, betapa rezim jagung ini begitu melukai hati? Tidakkah kau renungi, betapa rezim bonsai ini begitu menciderai rasa keadilan? Sedang kata orang nun jauh disana, "Negeri ini begitu kaya. Negeri ini begitu ramah". Sungguh mimpi di atas ironi.
Tak ada lagikah pemuda-pemuda berani pada malam sebelum proklamasi? Atau tak ada lagikah ibu yang merelakan anaknya untuk berjuang? Seperti dalam syair, "Bunda relakan darah juang kami. Untuk membebaskan rakyat.." Atau, sebegitu pengecutkah kita di hadapan kebatilan?
Di tengah kegundahan ini, aku merindukanmu. Mengingatkanku pada tekad kita, pada momen kita. Seperti kata Fahri Hamzah, "Kita dipanggil oleh zaman. Kita dibisiki oleh ilham. Kita melaksanakan takdir kita sebagai arus perubahan".