"Kau pernah menembus batas realis dan surealis di hidupmu? Seperti... tubuhmu berada di suatu tempat sementara pikiranmu melebur melampaui ruang-waktu, dimensi ke dimensi, sehingga wujud fisik yang kita miliki tak lagi bermakna?"
"Ya. Semacam... serotonin yang meledak-ledak?"
"Tidak. Serotonin hanyalah sebuah perasaan di kepala kita. Yang kumaksud kali ini lebih menyerupai pengalaman perjalanan pikiran. Kau dan aku, menjelajah batas-batas surealisme, lantas memutuskan lenyap di sana."
---
Kau berada di ujung sana, Perempuan. Sebatas duduk di depan mejamu dengan segala aktivitasmu, sementara distorsi tercipta di sekitar tubuhmu. Distorsi yang menyenangkan dengan warna magenta, jingga, indigo, melebur dengan monokrom yang kontras.
Pikiranmu mengembara lepas dari ragamu, pun demikian pikiranku, sehingga di satu titik kita saling bertautan, menjalin suatu hubungan yang menyebabkan ketertarikan kuantum tercipta sedangkan kita bahkan tak pernah berkenalan.
Kau serupa enteogen bagiku, yang jika kusesap akan membuatku tersesat, menjadi candu, lantas meluruhkan kesadaranku.
Pernahkah kau berpikir untuk meruntuhkan realita tempat kita tinggal? Menjadi candu bagi siapa saja, sekaligus memperluas distorsi di sekitarmu, lantas membuyarkan segalanya sehingga tak ada lagi wujud fisik akan segala hal?
Kau dan aku berada pada dimensi entah keempat, kelima, atau entah ke berapa pun, di mana hanya ada kesadaran yang berkuasa. Sebuah kesadaran tanpa batas, tanpa wujud, sehingga kebebasan mutlak menjadi milik kita.
Tak dibutuhkan perkenalan sama sekali. Tak membutuhkan basa-basi. Pun tak perlu satu dari kita mengungkapkan ketertarikan kepada yang lain. Kita hanya... tahu. Sebatas kesadaran yang saling merengkuh. Bersetubuh tanpa tubuh. Bercumbu penuh candu. Lantas kita menciptakan semesta-semesta sureal lain di sekitar kita.
Kau serupa enteogen yang memungkinkanku menjelajah semesta tanpa meninggalkan semesta. Kau menciptakan singularitas yang tua nan lembut, yang tak akan meremukkanku sekalipun aku menjangkau ke dalamnya.