Suatu hari, kulihat seorang anak kecil berusia sekitar 5 tahun, dari kejauhan bernyanyi di depan jendela mobil yang tertutup di jalan yang lampu lalu lintasnya sedang berwarna merah. Ku lihat dia bernyanyi dengan penuh semangatnya. Akan tetapi, jendela mobil itu tetap tidak terbuka sampai akhirnya lampu lalu lintas berwarna hijau. Kemudian kulihat anak kecil itu menghampiri teman-temannya, yang juga membawa sebuah gelas aqua yang sudah kosong, yang telah terisi dengan uang logam dan uang seribu rupiahan. Dengan semangatnya mereka mulai menghitung jumlah uang yang telah mereka dapatkan. Ada yang berwajah panik karena tidak sepersenpun uang ada di gelas aquanya, ada juga yang senang karena ia mendapatkan banyak uang.
Kulihat begitu banyaknya orang yang mencari sesuap nasi dengan begitu sangat susahnya. Kulihat, anak yang seharusnya duduk dibangku sekolah itu, malah berjuang dengan susah payahnya mencari sesuap nasi. Mereka hidup ditengah-tengah dunia yang kejam ini. Kulihat tak hanya ada yang mengamen saja, ada juga yang membersihkan kaca mobil orang. Tapi, sangat jarang orang yang memberi mereka rejeki. Dibenakku muncul berbagai pertanyaan, entah apa yang dapat mereka lakukan dengan uang recehan itu, sedangkan, sekarang ini saja apa-apa sudah naik.
Kulihat seorang ibu yang penuh dengan keringat, sambil menggendong bayinya, menengadahkan tangannya kearah jendela mobil. Apa daya. Jendela mobil itu semua tertutup. Dan kemudian mobil itu melaju dengan kencang, sampai menimbulkan angin. Ibu itu menghapus keringat dengan tangannya. Baju yang kusam... Wajah yang hitam karena setiap hari di panasi oleh teriknya matahari... Semua itu bukanlah halangan bagi mereka. Mereka mempunyai semangat. Itu yang membuatku kagum. Mereka sudah terbiasa dengan kehidupan seperti itu.
Akupun mengambil dompet dari tasku. Aku melihat selembar uang sebesar Rp50000,00 ada didalamnya. Aku merasa biasa saja melihatnya. Aku malu dengan anak-anak kecil itu. Mereka melihat uang Rp5000,00 saja sudah senang bukan kepalang. Apalagi jika mereka melihat uang yang berwarna biru ini. Akupun memasukkan kembali dompetku kedalam tas. Kulihat seorang anak kecil mendekatiku. Ia duduk direrumputan, dimana aku duduk disebuah kursi taman dibelakangnya. Dengan wajahnya yang berbinar-binar, ia berkata padaku,
”Kak, ngapain duduk di sini sendirian? Liat deh. Aku dapet uang banyak.”
Aku hanya tersenyum, seolah aku merasakan bagaimana perasaannya. Iapun mengeluarkan beberapa uang logam dan selembar uang Rp1000,00 dari gelas aquanya. Wajahnya nampak berbinar-binar. Lalu, akupun bertanya kepada anak kecil itu,
”Dek, kamu ngga sekolah?”
Anak kecil itu, sambil tetap tersenyum menjawab pertanyaanku,
”Enggak kak.”
”Terus, kamu sama sekali belum pernah sekolah?”
”Pernah kak, tapi berhenti.”
”Kenapa dek?”
”Ngga tau kak. Disuruh ibu berhenti. Katanya disuruh cari makan aja, ngga usah sekolah.”
Ya Tuhan... Betapa kerasnya hidup ini... Anak sekecil ini saja sudah harus mengenal betapa kerasnya dunia ini. Seharusnya ia duduk di bangku sekolah. Mencari ilmu. Padahal, hidup ini hanya sekali. Rasanya sayang sekali apabila ia sama sekali tidak dapat mengenal sekolah sebagaimana mestinya. Lalu, apa makna dari wajib belajar 9 tahun itu? Entahlah.
Kemudian anak kecil itu pergi menghampiri teman-temannya. Aku masih memandangi mereka dari jauh. Haripun sudah mulai senja. Mereka tetap saja berada dijalanan itu. Ada beberapa dari mereka yang pulang karena mau sholat maghrib. Satu persatu dari mereka mulai kembali berdatangan. Akupun pulang kerumah. Ku mulai menyetir mobilku. Rasanya, aku mendapat sebuah pelajaran dari mereka. Betapa bersyukurnya aku telah diberikan kehidupan seperti ini.
Akupun sudah sampai dirumah, dan aku langsung menuju ke kamarku dilantai dua. Kududuk disebelah jendela kamarku, dan aku memandang bintang-bintang di langit. Kulihat handphoneku. Beberapa hari yang lalu aku merengek-rengek minta dibelikan handphone yang baru pada orangtuaku. Padahal handphoneku yang sekarang ini sangat canggih. Entah apa yang aku mau. Rasanya aku tidak pernah puas dengan apa yang telah kudapatkan. Aku membayangkan anak kecil tadi. Aku bisa saja meminta dibelikan handphone baru. Mereka? Bisa makan saja sudah sangat bersyukur.
Keesokan paginya aku kembali ketempatku kemarin melihat anak-anak kecil itu. Hari ini sekolahku sedang libur. Setelah kuturun dari mobilku, kulihat mereka sudah ada yang mulai mengamen. Aku berjalan di sekitar taman. Dan kulihat seorang anak kecil sedang berjalan. Dia bukan berjalan kearah dimana teman-temannya berkumpul. Akupun penasaran dan aku mengikutinya. Akhirnya anak itu memasuki sebuah jalanan kumuh. Aku sedikit kaget melihat ada banyak rumah yang terbuat dari kardus. Lumayan jauh dari tempat dimana mereka biasa mengamen. Tiba-tiba aku bertemu dengan seorang anak kecil yang kemarin duduk di depanku.
”Eh, kakak! Ngapain kesini?”
Aku sedikit kaget melihatnya ada disitu juga.
”Iya. Iseng aja.”
”Oh... Mau liat rumah aku ngga kak?”
”Boleh...”
Anak kecil itu menunjukkan rumahnya padaku. Betapa aku ingin menangisnya saat itu, kulihat ada seorang bayi didalamnya yang ditinggal seorang diri.
”Ini adik kamu?”
”Iya kak.”
”Lalu, siapa yang jaga? Kok ngga ada orang”
”Ya enggak ada kak. Ibu aku sudah meninggal pas ngelahirin adik. Jadi, paling nanti ada tetangga yang liat-liatin.”
”Bapak kamu kemana?”
”Ngga tahu kak. Kata tetangga juga sudah meninggal”
Aku kaget mendengarnya. Aku sedih. Betapa teganya bayi sekecil ini ditinggal seorang diri digubuk seperti ini. Ditempat yang agak gelap. Tidak ada yang menemani... Bayi itupun tersenyum melihatku. Seakan-akan ia sangat senang melihat kehadiranku. Tiba-tiba ada seorang ibu datang.
”An, ini siapa?” tanya ibu itu pada Ani, anak kecil yang ketemui itu.
”Ini kakak yang kemarin aku liat dijalan bu.”
Lalu, Ani langsung berlari ketika ia melihat temannya melambai-lambaikan tangan padanya. Ibu itu menatapku dengan pandangan yang bertanya-tanya. Ia memandangku mulai dari rambut hingga ke sepatuku. Iapun bengong. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu.
”Bu...”
”Eh iya non...”
”Ibu yang merawat bayi ini?”
”Iya non.”
Tiba-tiba aku melihat seorang ibu menggendong bayi tanpa kain gendong. Kulihat kaki bayi itu tidak ada sebelah. Aku kaget dan kutanyakan pada ibu ini.
”Bu, kaki bayi itu kenapa?”
”Oh... Bayi itu? Kakinya memang sengaja dipotong.”
Aku sangat kaget mendengar dua kata terakhir dari ibu itu.
”Apa? Sengaja dipotong? Maksud ibu apa?”
”Iya non, buat mencari simpati.”
”Mencari simpati? Saya ngga ngerti bu. Bisa ibu cerita sama saya?”
Ibu itu pun menghela nafasnya. Dan kemudian memulai ceritanya.
”Begini non. Tidak semua dari kami ini sukses dalam mencari uang. Ada saja yang nasibnya apes, sampai-sampai ia sering sekali tidak mendapatkan uang. Kalau sudah begitu, gimana bisa makan? Minta tetangga? Tetangganya aja juga makan cuman seuprit. Masa masih mau diminta juga? Akhirnya, cari cara agar bisa dapet duit. Yah... salah satunya dengan kaki anak yang dipotong itu. Kan kalau orang liat seorang anak apalagi seorang bayi tanpa kaki, akan ada rasa iba.”
”Tega banget sih bu? Betapa banyak di dunia ini seorang ibu menangis karena anaknya yang cacat? Eh... ini! Sudah dikasih yang normal kok malah sengaja dibuat cacat?”
”Yah... Itulah non. Hidup itu susah. Kalau ngga gitu, gimana kami bisa hidup? Gimana kami bisa makan?”
Akupun hanya terdiam. Aku hanya berpikir, betapa seorang ibu yang tidak punya perasaan. Tega-teganya membuat anaknya sendiri cacat. Seorang bayi yang lahir tanpa dosa, hanya untuk jadi korban kekejaman dunia? Aku benar-benar tidak habis pikir.
Tiba-tiba orang-orang beramai-ramai berlarian. Akupun kaget.
”Ada apa ini bu?”
”Saya juga ngga tau non, ayo liat saja.”
Ibu itu lalu menggendong bayinya, dan kami juga ikut-ikutan berlarian. Ternyata telah terjadi sebuah kecelakaan. Aku benar-benar sangat kaget melihatnya. Seorang bayi kecil yang kakinya tidak ada sebelah tadi, telah berlumuran darah. Menurut saksi mata yang melihatnya, ketika si ibu menyebrang jalan, tiba-tiba ada sebuah mobil yang ngebut karena ingin menerobos lampu merah, dan si ibu pun kaget, dan bayi itu terlepas dari gendongannya. Dan alhasil karena panik, bayi tersebut terjatuh kejalan dan terlindas oleh ban mobil. Bayi yang berwajah imut itu pun sudah tidak lagi bernyawa. Aku hampir tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Bayi itupun dikubur.
Beberapa hari kemudian, aku jalan-jalan ke pasar baru bersama keluargaku. Di pinggir jalan, aku melihat ada orang yang berjualan mainan. Mainan itu dijual dengan harga Rp10000,00. Ada mobil-mobilan, barbie, dan lain-lain. Adikku membeli mobil-mobilan, dan kulihat ada seorang anak kecil yang menengadahkan tangannya pada seorang ibu, sambil melihat mainan itu. Dia berkata bahwa dia belum makan. Tetapi, ibu itu cuek saja. Matanya seolah-olah berkata aku juga ingin mainan itu. Tetapi, apa daya. Mainan itu pun tak sanggup dibelinya. Ia hanya dapat menatap mainan itu. Sampai akhirnya dia diusir oleh sang penjual.
Ya. Aku menyadari, betapa beruntungnya aku ini. Aku masih bisa sekolah, diluar sana banyak anak yang tidak sekolah. Aku masih bisa makan enak, diluar sana ada yang tidak bisa makan. Aku masih punya rumah, diluar sana ada orang yang tidak punya rumah untuk tinggal. Ya Tuhan... Betapa bersyukurnya aku telah diberikan kehidupan seperti sekarang ini. Aku kagum, dengan mereka yang tabah dalam menghadapi hidup ini.
(Saya mendapat inspirasi menulis cerpen ini setelah menonton sebuah film di televisi, saya lupa judulnya apa, yang berdasarkan kisah nyata. Film tersebut menceritakan tentang bayi yang kakinya sengaja dipotong untuk mendapatkan simpati dari banyak orang. Selebihnya, dalam cerpen yang saya buat ini merupakan karya fiksi yang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari yang saya alami, beberapa peristiwa memang nyata adanya.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H