Nak, kamu kalau besar ingin jadi apa?
Memang hidup harus jadi apa-apa ,ya?
Aku melayang pada percakapan malam dengan seorang teman sebelum keberangkatanku. Kami membicarakan mengenai bagaimana sebaiknya hidup ini dimaknai. Sebagai seorang yang lahir di kota besar aku selalu berfikir bahwa kenikmatan dari hidup adalah saat aku bisa makan makanan yang menurut standarku berkelas, duduk bercengkerama dengan teman di bawah pendingin ruangan, membeli barang yang sedang naik penjualan dan beberapa hal khas anak kota. Maka bagiku perjalanan ke Makian kali ini bukan sekedar perjalanan penelitian, ia juga menjadi salah satu perjalanan hati.
Jumat, 29 September 2018 pesawat Lion Air tujuan Bandara Sultan Baabulah lepas landas dari banda internasional Juanda, Surabaya. Aku menjadi salah satu ekspeditor dalam Ekspedisi Jalur rempah KEMENDIKBUD 2018. Perjalanan pesawat seperti biasa, aku terkantuk-kantuk selama perjalanan karena keberangkatan kami dilakukan di malam hari. Ya kami, aku berangkat bersama seorang teman baru perwakilan Jawa Timur, Bima Panji namanya.
Kami sampai di Ternate pukul 08.38 pagi. Perjalanan memakan waktu panjang karena kami harus transit di Bandara Internasional Soekarno Hatta sebelumnya selain itu perbedaan waktu 2 jam antara WIB dan WIT juga berpengaruh.
Acara hari pertama adalah pembukaan. Seluruh peserta diwajibkan menggunakan baju adat masing-masing daerah untuk acara ini. Ada yang menggunakan pakaian adat Aceh sampai pakaian adat papua. Mengingat kami memang perwakilan dari berbagai provinsi. Acara pembukaan dilaksanakan di kantor Walikota Ternate dengan penampilan tari soya-soya khas Ternate dan diakhiri dengan jamuan makan malam.
Keesokan harinya, 29 September 2018 kami di berangkatkan ke pulau masing-masing. Pengumuman penempatan sudah kami dapatkan seminggu sebelum kami diberangkatkan ke Ternate. Aku mendapatkan pulau Makian. Beberapa hari sebelum keberangkatan, aku sudah sempat mencari informasi mengenai pulau ini di laman-laman pencarian. Sebenarnya aku tidak pernah mendengar nama pulau ini sebelumnya, berbekal berita dari internet saja aku memiliki gambaran mengenai pulau ini.Â
Pulau yang besarnya tidak lebih besar dari pulau Madura inilah aku akan menghabiskan tujuh malamku. Kami berangkat dari Ternate menuju Makian dengan speedboat. Perjalanan menempuh waktu sekitar 1 jam 30 menit. Selama perjalanan aku diguncang-guncang oleh kecepatan speedboat. Jadi dalam perjalanan ini aku mendapat sebuah pelajaran yang mungkin bisa menjadi tips untuk orang-orang yang akan naik speedboat dalam waktu lama.
Jangan pernah naik di bagian kursi penumpang atau di bagian paling depan karena bagian depan boat digunakan untuk memecah arus air sehingga guncangannya paling tinggi. Pilih di bagian paling belakang boat. Selama perjalanan dari ternate menuju Makian, aku tak henti-hentinya mengiyakan apa yang diungkapkan oleh adrian B. Lapian mengenai "Indonesia adalah lautan yang ditaburi pulau-pulau".
Aku mengamininya sekarang saat melihat wilayah Maluku Utara, di sepanjang perjalanan aku disuguhkan oleh gugusan pulau-pulau yang keseluruhannya berpenghuni. Selain itu hal yang menarik terkait pemandangan dalam perjalanan ini adalah aku melihat langsung bagaimana lumba-lumba berenang bebas di lautan. Ini kali pertama di hidupku melihat kawanan lumba-lumba di habitatnya.
Sesampainya di Makian kami disambut hangat oleh kepala desa setempat di balai desa Rabutdaiyo. Suguhan pertama yang diterima adalah kenari. Ya, buah endemik Maluku Utara ini menjadi sebuah kebanggan bagi masyarakat kecamatan kepulauan Makian sehingga dapat hadir dalam acara-acara besar. Hari itu kali pertama aku merasakan kenari goreng, rasanya hampir mirip kacang methe menurutku.