Marah, geram, kesal, muak bercampur jadi satu saat membaca tautan berita yang beredar di linimasa. http://www.tempo.co/read/news/2012/10/08/064434371/Korban-Pemerkosaan-Teman-Fecebook-Tak-Bisa-Sekolah
ASS, remaja putri 14 tahun asal Depok yang menjadi korban perkosaan dikeluarkan dari sekolah. Kepala sekolah mengumumkan dikeluarkannya ASS saat upacara sekolah. ASS dinilai mencemarkan nama baik sekolahnya, pihak sekolah pun terkesan menutup-nutupi kejadian ini dari media.
Bisa dibayangkan betapa hancurnya perasaan ASS. Setelah sebulan penuh mengumpulkan keberanian untuk kembali bersekolah, niatnya dirusak oleh institusi yang seharusnya melindunginya, namanya diumumkan di depan seluruh sekolah dan dinilai telah mempermalukan yayasan tempat sekolahnya bernaung. ASS yang telah menghabiskan waktu melawan trauma perkosaan harus menanggung beban dipermalukan oleh sekolahnya sendiri. Dipersalahkan, dan dianggap merusak nama baik sekolahnya. Umur ASS masih 14 tahun, masa depannya masih panjang. Dan harapan ASS akan masa depan yang lebih baik dipupuskan oleh institusi yang (katanya) mengagungkan moral siswanya. Menilai bahwa siswa korban perkosaan tidak sepantasnya mengenyam pendidikan sama buruknya dengan pelaku perkosaan. Ya, sekolah tersebut sudah memperkosa harga diri ASS dengan mempermalukannya dan merampas haknya untuk menerima pendidikan. Korban perkosaan sama sekali tidak boleh disalahkan atas apa yang terjadi pada diri mereka. Kesalahan sepenuhnya ada pada pelaku pemerkosa, dan tindakan diskriminatif terhadap korban pemerkosaan sama buruknya dengan tindakan pelaku pemerkosa.
Kejadian ini tidak hanya berlangsung sekali. Sudah sering kita dengar korban perkosaan tidak diperbolehkan masuk sekolah, siswa hamil dilarang bersekolah. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat bagi siswa mengenyam pendidikan dengan bebas berubah menjadi institusi moral yang bisa menentukan baik atau buruknya perilaku siswa. Pendidikan pada dasarnya adalah hak bagi masing-masing individu, diperkosa atau tidak, hamil atau tidak, para siswa berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Sikap diskriminatif yang diberikan pihak sekolah hanya akan menimbulkan trauma yang mendalam bagi korban perkosaan.
Sekolah seharusnya melindungi siswanya yang menjadi korban pemerkosaan, memberikan konseling, membantu mengurangi trauma, dan meningkatkan rasa percaya diri siswa untuk terus melanjutkan hidup dan mengenyam pendidikan. Bukannya malah menghakimi siswa dan mempermalukannya, serta merampas hak didiknya.
Jakarta, 8 Oktober 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H