Semua biasa saja hari ini. Kita melewati pagi dengan sapaan singkat, lalu kembali membuat suara-suara dengan jentikan jemari pada tuts keyboard komputer masing-masing. Aku dan kamu dengan kesibukan yang berbeda dalam satu ruangan yang sama. Berhadapan, tapi ragu untuk saling menatap. Siang yang sama seperti yang pernah kita alami sebelumnya.
Tidak ada yang spesial, aku dengan tumpukan kata-kata yang harus kupersingkat dan kusebarkan melalui jaringan nirkabel, kamu dengan berhalaman-halaman kata yang harus kauperindah. Ah, iya, AC ruangan lebih dingin dari biasanya. Itu saja yang berbeda.
Sore berlalu ditandai dengan bunyi gemericik air dari pemanas , yang kutuang untuk membuat secangkir kopi. Seperti biasa, kita saling berpapasan dan tak menyapa. Dan, seperti biasa, saat malam menjelang, dan sepi menyisa ruangan yang sebelumnya sibuk seharian, kita baru berani berkata-kata. “Pulang?” tanyamu.
Malam pun berlalu dengan biasa. Aku dan kamu yang sebelumnya saling tak menyapa, kali ini berderai tawa dalam satu ruangan sempit dengan kipas angin yang menyala. Sisanya sepi. Yang terdengar hanya suara kita berbisik pelan karena tak mau mengganggu anjing galak di seberang sana yang terlalu sensitif terhadap suara.
Malam yang sederhana. Hanya ada kamu dan aku yang berkelindan syair, kata-kata, dan renjana. Menyusuri bait demi bait, memperdebatkan apa yang lebih tabah dari hujan bulan Juni. Dan kamu bilang, “Yang tak terucap memiliki makna lebih kuat daripada yang diucapkan”.
Kini, aku tahu, apa yang lebih tabah dari hujan bulan Juni.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI