Bapak saya pernah bertanya, "Mba, mau ngga kerja di perusahaan teman Bapak? Dia lagi butuh seorang akuntan untuk ditempatkan di bagian keuangan. Gajinya besar loh, belum lagi di tambah dengan beberapa tunjangan yang nominalnya juga lumayan besar."
Sambil tersenyum dan agak lebay saya menjawab, "Kayanya ngga deh Pak. Soalnya separuh hidup dan jiwa Mayang itu udah Mayang dedikasikan untuk pendidikan.". Kemudian kami pun sama - sama tertawa sambil melanjutkan menikmati cemilan yang telah disiapkan oleh Ibu.
Menjadi seorang guru bagi saya merupakan sebuah panggilan jiwa yang tidak semua orang mau melakoninya. Guru adalah sosok yang kadang dianggap hanya sebagai "penyampai ilmu pelajaran" saja padahal peran guru lebih dari itu. Guru juga sebagai sosok yang berperan aktif dalam perubahan peradaban. Profesi guru pun terkadang masih memiliki stereotif negatif bahwa guru adalah pekerjaan "biasa" dengan penghasilan rendah, yang terkadang dapat mengurangi penghargaan terhadap jasa guru. Kesalahan kecil yang dilakukan oleh guru seringkali menjadi sorotan besar, baik di lingkungan sekitar maupun di media sosial. Kritik yang berlebihan ini dapat menurunkan motivasi dan dapat menghambat kreativitas dan inisiatif dalam mengajar.
Selama lebih dari sepuluh tahun saya menjadi guru, saya menemukan banyak sekali "harta karun"Â yang mungkin tidak akan didapatkan di tempat lain dan tidak bisa ditukar dengan sejumlah nominal rupiah. Lalu kemudian pengalaman ini bisa saya terapkan dirumah, setidaknya saya bisa mengambil pelajarannya.
Guru sebagai tempat bertukar pendapat. Tidak sedikit siswa yang lebih nyaman berdiskusi tentang kelanjutan studi mereka dengan guru mereka daripada orangtua mereka. Karena mereka bisa mendapatkan berbagai pertimbangan dari setiap sudut pandang yang berbeda lalu kemudian bisa diambil titik tengah untuk mereka jadikan patokan.
Guru sebagai tempat berkeluh kesah. Siswa usia remaja terkadang mereka hanya ingin didengar. Mereka seringkali datang bergerombol ke meja saya kemudian duduk di bawah meja dan mulai bercerita tentang semua keluh kesah mereka. Dari mulai masalah sekolah, teman sebaya, kisah cinta mereka yang terkadang membuat saya senyum-senyum sendiri, bahkan sampai cerita tentang keadaan di rumah mereka yang membuat mereka tidak nyaman. Semua keluh kesah itu saya dengarkan dengan baik dan setelah mereka selesai mereka akan bilang "Ya udah bu, saya mau pulang, mau bimbel dulu. Pamit ya bu..." tanpa harus saya beri saran atau masukan apapun. Ya karena mereka hanya butuh tempat untuk mengeluarkan unek-unek mereka saja, yang kebanyakan tidak mereka dapatkan di rumah.
Guru sebagai motivator handal. Ada kalanya saat mereka sedang mengalami kejenuhan dalam belajar, mereka akan bertanya dengan pertanyaan yang random seperti: "Bu, kenapa sih kita harus belajar banyak mata pelajaran yang semua itu kan ngga akan kita pake semua bu. Palingan hanya beberapa yang memang sesuai dengan minat dan bakat kita?", atau "Bu, kenapa sih kan kaya rambut gondrong, make up berlebihan, baju seragam yang tidak sesuai kan ga ada pengaruhnya sama belajar?"Â
Kemudian saya menjawab, "Memang benar tidak semua mata pelajaran akan kalian gunakan tapi setidaknya dengan kalian mempelajari semua mata pelajaran di sekolah, kalian dapat mengembangkan pengetahuan dasar kalian. Misalnya: kalian mempelajari matematika, kalian dilatih tentang kemampuan berpikir logis dan memecahkan masalah. IPA membantu kalian memahami prinsip-prinsip yang mengatur dunia fisik dan biologis. Bahasa akan membantu kalian dalam meningkatkan keterampilan komunikasi dan literasi. Sejarah dan Geografi akan memberikan kalian wawasan tentang masyarakat, budaya dan dunia. Nah itu semua mungkin akan kalian butuhkan dan berguna suatu hari nanti. Ingat, tidak ada ilmu yang sia-sia. Kemudian tentang tata tertib yang harus kalian patuhi, misal rambut harus rapih, tidak boleh bermake up berlebihan dll. Itu semua melatih kalian dalam mematuhi semua peraturan yang ada. Kalau kalian dengan peraturan yang sederhana saja kalian tidak bisa mematuhinya bagaimana kalian akan mematuhi peraturan yang ada di masyarakat kelak? Yang kebanyakan peraturan di masyarakat lebih banyak dan terkadang tidak tertulis. Jadi apapun yang diberikan oleh kami selaku guru dan dari pihak sekolah, insyaallah itu untuk kebaikan kalian semua." dan kemudian mereka menganggukkan kepala tanda mereka mengerti.
Guru sebagai mediator dan penengah. Guru yang berperan sebagai wali kelas, mempunyai tugas "ganda" selain mengajar, mengatur kelas, juga sebagai mediator atau penengah baik antar siswa, bahkan antar siswa dengan orangtua mereka. Tidak sedikit diantara siswa dan orangtua yang timbul konflik karena adanya komunikasi yang tidak baik. Bisa jadi karena ambisi orangtua yang terlalu tinggi sehingga membuat siswa menjadi tertekan dan kemudian menjadi "pemberontak" sebagai bentuk protes siswa pada orangtuanya. Atau bisa jadi karena orangtua mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka yang kemudian membuat siswa merasa tidak diperhatikan atau tidak mendapatkan kasih sayang sebagaimana seharusnya. Sehingga mereka melakukan hal-hal yang dianggap oleh orang tua mereka itu negatif.
Masya Allah ya tugas tambahannya banyak sekali selain administrasi guru yang tak kalah banyaknya juga. Tidak heran jika saya terkadang berteman dengan koyo dan fresh care. Hehehe....Â
Kasus yang melibatkan guru
Dunia pendidikan akhir-akhir ini dihebohkan oleh adanya beberapa kasus yang melibatkan sesama rekan guru. Diantaranya:Â
Kasus guru Supriyani (2024), beliau adalah seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Konawe Selatan, yang dilaporkan oleh orang tua siswa yang merupakan anggota kepolisian. Ibu Supriyani dituduh telah melakukan pemukulan terhadap seorang siswa. Namun kasus ini menuai beberapa kontroversi karena adanya saksi yang mendukung Ibu Supriyani serta dugaan intimidasi dan manipulasi dalam proses hukum. Orang tua siswa awalnya melaporkan kasus ini setelah anaknya mengaku luka karena jatuh, tetapi kemudian berubah pengakuan setelah didesak.
Kasus guru Khusnul Khotimah (2024), beliau adalah sorang guru SD di Jombang, yang dilaporkan karena dianggap lalai mengawasi siswa saat jam kosong, yang menyebabkan seorang siswa terluka parah akibat kecelakaan di kelas. Meskipun Ibu Khusnul tidak ditahan, namun Ia dijerat pasal hukum terkait kelalaian. Kasus ini menjadi sorotan karena menekankan tanggung jawab guru diluar kontrol mereka.
Kasus guru SMPN di Tangerang (2023). Seorang guru dituntut oleh orangtua siswa karena memukul siswa saat proses pembelajaran. Guru tersebut menyatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan sebagai bentuk disiplin, tetapi pihak orang tua siswa menganggap sebagai kekerasan. Kasus ini menjadi simbol bahwa bagaimana konflik antara otoritas guru dan ekspektasi orang tua sering berujung pada kriminalisasi.
Adanya kasus diatas dan kasus-kasus lain yang tidak terkuak oleh media menunjukkan bahwa adanya jurang pemahaman antara tugas guru sebagai pendidik dan perlakuan terhadap mereka, terutama dalam situasi konflik dengan siswa dan orang tua. Peraturan Menteri Pendidikan  dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan bertujuan untuk melindungi guru dari berbagai bentuk ancaman dalam menjalankan tugasnya, sepertinya belum terlaksana secara maksimal.
Mengapa bisa terjadi?
Konflik yang terjadi antara guru dan orang tua seringkali terjadi karena ketidakjelasan batasan-batasan yang harus dipahami oleh guru dan orangtua. Atau bisa saja terjadi karena beberapa faktor, misalnya:
Kurangnya komunikasi efektif antara orang tua dan guru. Ketidakjelasan dalam menyampaikan harapan, informasi tentang perkembangan siswa, atau kebijakan sekolah yang dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Perbedaan persepsi tentang pendidikan. Orang tua dan guru bisa saja memiliki pandangan yang berbeda tentang cara mendidik anak. Bisa saja orang tua memiliki ekspektasi yang lebih tinggi atau pendekatan yang berbeda dalam hal pengajaran dan disiplin, yang dapat bertentangan dengan metode yang digunakan oleh guru dan sekolah.
Kurangnya pemahaman tentang peran guru. Orangtua yang kurang memahami tanggung jawab dan batasan peran guru mungkin merasa bahwa guru harus memenuhi semua kebutuhan pendidikan dan emosional anak-anak mereka, yang tidak realistis dan bisa menimbulkan konflik baru.
Kurangnya kepercayaan antara guru dan orang tua. Kepercayaan adalah fondasi yang sangat penting dalam pendidikan. Jika kepercayaan ini lemah atau hilang, setiap ketidaksepakatan kecil bisa berkembang menjadi konflik yang lebih besar.
Pengaruh media dan opini publik. Jaman digitalisasi yang memudahkan akses informasi tentang kasus-kasus yang melibatkan guru dan siswa dari seluruh pelosok negeri bisa memengaruhi persepsi orangtua. Hal ini bisa saja menyebabkan orangtua lebih mudah curiga atau menilai negatif tindakan guru, bahkan tanpa bukti yang konkret.
Kekhawatiran berlebihan terhadap anak bisa membuat orangtua cenderung lebih protektif dan waspada terhadap setiap tindakan yang dianggap mengancam kenyamanan atau keselamatan anak, bahkan jika tindakan itu merupakan bagian dari prosedur pendidikan.
Solusi
Tidak ada masalah tanpa adanya solusi yang tepat. Beberapa solusi yang bisa coba dijalankan agar guru dapat menjalankan tugas mereka dengan aman dan percaya diri, tanpa khawatir akan ancaman kriminalisasi sehingga kualitas pendidikan pun dapat meningkat.
Satu, regulasi perlindungan guru. Pemerintah diharapkan perlu menyusun kembali regulasi yang melindungi guru dari ancaman kriminalisasi selama mereka bertindak sesuai dengan standar profesional dan prosedur yang sah. Adanya Undang-undang yang tegas yang melindungi keputusan disipliner guru.
Dua, pemberdayaan lembaga konseling dan mekanisme mediasi. Sekolah perlu memperkuat peran konselor pendidikan yang bisa menjadi penengah dalam menyelesaikan masalah sebelum berkembang menjadi persoalan hukum. Jika masalah bisa diselesaikan secara kekeluargaan tanpa harus ke ranah hukum alangkah lebih baik.
Tiga, pelatihan hukum dan etika. Guru perlu diberikan pelatihan berkala tentang hukum yang berlaku dalam konteks pendidikan serta etika profesional agar mereka dapat bertindak dengan yakin dan sesuai prosedur.
Empat, dialog terbuka dengan orang tua. Inisiasi dari sekolah terkait pemahaman yang sama tentang peran guru dalam mendisiplinkan siswa agar komunikasi antara guru, sekolah dan orangtua terjalin dengan baik.
Lima, sekolah menerapkan kebijakan yang transparan. Sekolah harus memiliki kebijakan tertulis yang jelas mengenai penanganan disiplin siswa, sehingga semua pihak yang terkait memahami batasan dan hak masing-masing.
Selain kelima solusi tersebut, pentingnya guru dan pihak orangtua mengetahui batasan-batasan yang memastikan mereka bahwa tindakan mereka tetap dalam aturan profesional dan etis.
Batasan guru:
- Guru harus memastikan bahwa tindakan disiplin terhadap siswa sesuai dengan kebijakan sekolah dan peraturan pendidikan yang berlaku. Tindakan fisik atau hukuman yang merendahkan martabat siswa dilarang, karena tindakan fisik tersebut dinilai tidak menjadikan efek jera malah sebaliknya menimbulkan dendam antara siswa dan guru.
- Guru tidak boleh menggunakan kekerasan fisik atau verbal dalam mengajar atau mendisiplinkan siswa. Karena semua tindakan itu bukan hanya melanggar etika profesional tetapi juga melanggar hukum.
- Guru harus menghormati privasi siswa, agar informasi sensitif siswa tetap terjaga.
- Guru harus menjaga batas profesional dalam hubungan dengan siswa. Hubungan yang bersifat pribadi atau terlalu dekat diluar konteks pendidikan akan menimbulkan konflik atau persepsi yang salah.
- Guru harus menjaga netralitas dan tidak memihak dalam perlakuan terhadap siswa, serta menghindari diskrimninasi berdasarkan suku, agama, ras, gender atau latar belakang sosial.
- Guru harus mengajar sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan.
- Guru perlu berhati-hati dalam menggunakan media sosial dan teknologi dalam berinteraksi dengan siswa.
Batasan guru ini dapat membantu guru menjalankan perannya dengan aman, profesional dan efektif, serta melindungi guru dari tuduhan kriminalisasi atau pelanggaran etika.