Feminisme tidak dapat disamakan dengan rasa kebencian terhadap laki-laki. Feminisme adalah bagaimana laki-laki dan juga perempuan dapat meniadakan pemikiran seksis yang telah tertanam dalam masing-masing individu sejak mereka kecil. Oleh karena itu, perempuan maupun laki-laki dapat menjadi feminis asalkan saling berjuang melawan kebudayaan patriarkis.
Di Amerika Serikat, gerakan-gerakan feminisme tidak dapat dipisahkan dengan isu rasial.Â
Ketika Amandemen ke-19 diratifikasi oleh pemerintah pada 1920 dan perempuan di Amerika mendapatkan hak pilih, perempuan kulit hitam atau Afrika-Amerika masih banyak mendapatkan diskriminasi. Adanya pajak pemungutan suara, tes literasi, dan terorisme berbau ras secara sistematis dilakukan oleh negara sehingga perempuan Afrika-Amerika tidak dapat menggunakan hak pilihnya secara penuh.Â
Bahkan, dalam perjuangannya menuntut hak pilih perempuan, salah satu organisasi feminis yang prominan pada saat itu, National American Woman Suffrage Association (NAWSA) tidak melibatkan organisasi feminis kulit hitam dalam parade hak pilih berskala nasional pada 3 Maret 1913.
Kompleksitas Feminisme Afrika-AmerikaÂ
Perempuan Afrika-Amerika tidak hanya ditindas karena gender mereka, tetapi juga identitas ras mereka. Feminisme gelombang pertama yang mengadvokasikan hak pilih perempuan, misalnya, hanya fokus pada tuntutan-tuntutan perempuan kulit putih.
 Alhasil, pengalaman dan kebutuhan spesifik dari perempuan Afrika-Amerika tidak terakomodasi dalam undang-undang. Dari sini, muncul pemahaman dan gerakan perempuan Afrika-Amerika yang memandang bagaimana penindasan itu bersifat kompleks dan beragam, terutama terhadap perempuan dari kelompok minoritas.Â
Sosiolog Afrika-Amerika bernama Patricia Hill Collins menyatakan penindasan perempuan kulit hitam secara struktural ini terdiri atas tiga dimensi yang saling bergantung. Dimensi pertama berhubungan dengan eksploitasi ekonomi.Â
Hal ini terjadi ketika perempuan kulit hitam dipekerjakan tanpa mendapat upah yang cukup dan penempatan posisi perempuan sebagai "ibu rumah tangga" yang tidak digaji.Â
Rasio antara perempuan kulit hitam dan kulit putih yang bekerja di pekerjaan yang upahnya rendah sendiri meningkat dari 1,99 pada 1910 menjadi 3,27 pada tahun 1920. Dimensi kedua adalah pembatasan hak-hak politik perempuan kulit hitam, seperti hak pilih dan akses yang setara untuk mendapatkan pendidikan. Faktor pendidikan sendiri berpengaruh besar terhadap upah yang didapatkan perempuan. .
Dimensi terakhir melihat pembentukan citra perempuan kulit hitam, sebagai seseorang yang emosional, malas, dan patuh. Stereotip ini kerap menjadi pembenaran bagi perlakuan buruk terhadap perempuan kulit hitam.Â