Di era kemajuan teknologi saat ini, saya merasa seperti tak bisa bisa lepas dari media. Tidak hanya saya, tua, muda, remaja dan anak-anak pun mau tidak mau diterpa oleh begitu banyak informasi setiap harinya. Baik informasi yang memang kita inginkan, maupun tidak. Hampir sebagian besar dari informasi yang saya dapat adalah tentang berbagai produk ataupun jasa yang dipasarkan di media-media tersebut. Sehingga saya menyadari bahwa saat ini persaingan produk di pasar semakin kuat dan sengit. Semakin banyak produk baru yang muncul dan berlomba-lomba dipasarkan ke konsumennya. Begitu juga dengan produk lama yang tidak mau kalah, terus memperbaharui dan mempertahankan positioning produknya. Sebagai salah satu bagian dari bauran promosi, iklan atau advertising menjadi salah satu media yang dianggap efektif untuk meyakinkan hati para konsumen dan menghadapi persaingan tersebut.
Menurut Gilson & Berkman (1980) Iklan merupakan media komunikasi persuasif yang dirancang untuk menghasilkan respon dan membantu tercapainya objektifitas atau tujuan pemasaran. Setiap iklan sesungguhnya ditujukkan untuk merebut hati sebuah sasaran khalayak tertentu yang atau yang biasa dikenal dengan target audience. Setiap produk memiliki target yang berbeda-beda mulai dari demografis maupun psikografisnya. Fakta menarik yang saya amati adalah bahwa saat ini iklan tidak hanya ditujukkan untuk orang dewasa saja, namun tanpa kita sadari anak-anak kini telah menjadi sasaran yang potensial bagi para pengiklan. Hal tersebut disebabkan karena saat ini anak-anak telah memiliki pengaruh yang cukup kuat pada proses pengambilan keputusan dalam sebuah keluarga. Meskipun pengetahuannya terbatas, di masa ini pendapat anak mulai di dengarkan dan diperhitungkan. Sehingga anak mampu menjadi influencer bagi orang tuanya. Tidak seperti jaman dahulu, kini anak tidak lagi harus menjadi pribadi yang pasif dalam keluarga. Namun, bisa menjadi pembuat keputusan (decision maker) atas suatu pilihan,terutama dalam soal pembelian.
Oleh karena itulah, saat ini semakin banyak produk yang menyasar anak-anak sebagai targetnya. Baik produk yang memang diperuntukkan bagi anak-anak, hingga produk yang sebenarnya tidak diperuntukkan bagi anak-anak. Anak-anak dengan segala kepolosannya begitu mudah terpengaruh atas tayangan yang menarik di televisi dan langsung ingin membeli produk tersebut. Tidak hanya menjadi target Audience saja, Saat ini semakin banyak juga iklan yang menggunakan anak-anak sebagai tokoh utama untuk memasarkan produknya. Hal tersebutlah yang patut kita cermati. Kepolosan dan kelucuan anak kecil seringkali digunakan untuk menarik hati orang-orang dewasa. Dan faktanya, Iklan yang menampilkan figur anak-anak memang selalu menarik untuk di lihat bukan?
[caption id="attachment_341801" align="alignnone" width="575" caption="sumber: pinterest"][/caption]
Namun bila kita ingat kembali akan hakikat anak, anak adalah individu yang rentan secara psikologis, karena memiliki pengalaman yang terbatas, yang memengaruhi pemahamannya mengenai dunia (Depkes RI, 2000). Oleh karena itu, anak-anak begitu mudah mempercayai dan menirukan sesuatu yang dilihatnya. Apa yang ia lihat dan ia amati dari lingkungannya akan memengaruhi perubahan perilakunya kelak, sehingga masa kanak-kanak menjadi masa yang sangat penting bagi pembentukan kepribadian mereka di masa mendatang. Hal tersebut berkaitan dengan apa yang diungkapkan dalam teori komunikasi yaitu Social Learning Theory bahwa seorang individu belajar dari apa yang ia baca, dengar, dan lihat di media, serta dari orang lain dan lingkungannnya, dan penonton menirukan apa yang mereka lihat di televisi melalui proses observational learning. Sudah semestinya kitasebagai orang dewasa melindungi anak-anak dari contoh yang tidak baik dan mengajarkan nilai-nilai moral atau etika yang berlaku di masyarakat melalui tayangan yang berkualitas.
Namun, beruntunglah negeri ini karena kita masih memiliki etika yang mengatur periklanan di Indonesia. Aturan-aturan tersebut tercantum dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang merupakan ketentuan-ketentuan normatif yang menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dihormati, ditaati, dan ditegakkan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembannya(EPI,2007). Etika pariwara memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi konsumen Indonesia, terutama dalam hal ini khalayak anak. Melalui EPI, setiap pengiklan memiliki pedoman dan landasan yang bisa dijadikan acuan demi menciptakan tayangan iklan yang berkualitas bagi anak bangsa. Di dalamnya, tercantum etika yang melindungi hak-hak anak dan keselamatannya dalam tayangan sebuah iklan seperti yang tercantum pada pasal 1.27 dan pasal 3.1 dibawah ini:
1.27 Khalayak Anak-anak
1.27.1 Iklan yang ditujukan kepada khalayak anak-anak tidak boleh menampilkan hal-hal yang dapat mengganggu atau merusak jasmani dan rohani mereka, memanfaatkan kemudahpercayaan, kekurangpengalaman, atau kepolosan mereka.
1.27.2 Film iklan yang ditujukan kepada, atau tampil pada segmen waktu siaran khalayak anak-anak dan menampilkan adegan kekerasan, aktivitas seksual, bahasa yang tidak pantas, dan atau dialog yang sulit wajib mencantumkan kata-kata “Bimbingan Orangtua” atau simbol yang bermakna sama.
3. Pemeran Iklan
3.1 Anak-anak
3.1.1 Anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.
3.1.2 Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan- adegan yang berbahaya, menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak.
3.1.3 Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan suatu produk yang bukan untuk anak-anak.
3.1.4 Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengeksploitasi daya rengek (pester power) anak-anak dengan maksud memaksa para orang tua untuk mengabulkan permintaan anak- anak mereka akan produk terkait.
Melalui pasal-pasal tersebut, EPI bersama dengan peraturan lainnya seperti Undang-Undang (UU) perlindungan anak dan UU perlindungan konsumen serta UU penyiaran saling bersinergi untuk menghadirkan tayangan-tayangan iklan yang baik bagi perkembangan anak. EPI juga memberikan peringatan kepada beberapa Iklan yang telah melanggar pasal-pasal tersebut seperti yang terjadi dalam iklan Gery Chocolatos versi anak masuk kulkas yang mampu membahayakan jasmani anak-anak. Selain itu juga terdapat iklan provider 3 yang menggunakan anak-anak yang membicarakan segala permasalahan orang dewasa. Bayangkan bila tidak ada etika yang menjadi garis tepi dunia persaingan ini, akan seperti apa kualitas tayangan yang disaksikan oleh anak Indonesia?
Adanya etika tidak membatasi estetika, namun menjadi sebuah pemicu yang dapat membentuk kreativitas yang lebih berkualitas. Buktinya, begitu banyak iklan kreatif di Indonesia meski harus terbentur berbagai regulasi yang ada. Selain itu, kita sebagai masyarakat juga harus ikut serta dalam mengawasi kualitas periklanan saat ini. EPI dapat kita jadikan landasan yang kuat untuk turut mengamati. Dengan demikian, kita bisa menyaksikan lebih banyak lagi periklanan yang lebih berkualitas, kreatif dan bertanggung jawab, terutama bagi anak-anak bangsa.
[caption id="attachment_341802" align="alignnone" width="236" caption="sumber: pinterest"]
referensi:
Robert M Liebert dan Joyce Sprafkin, The Early Window: Effect of Television on Children and Youth, 3rd editions, Pergamon Press, 1988, hal 167-168.
Macklin MC, Carlson L, eds. Advertising to Children: Concepts and Controversies. Thousand Oaks, CA: Sage; 1999
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H