Saat ini harga cabe sudah mulai turun dan murah. Cabe rawit hanya 6000 rupiah/kg ditingkat petani. Angka yang sudah merugikan untuk petani. Harga ini sudah tidak layak bahkan hanya untuk biaya panen. Kesulitan menanam beberapa waktu yang lalu akhirnya terbayar dengan kerugian. Mungkin banyak yang bahagia karena makan sambal di resto sekarang sudah pedas, inflasi tidak tinggi, ibu rumah tangga mampu belanja cabe. Hnaya petani cabe yang sedih. Rugi lagi.
Kalau mengingat harga beberapa bulan yang lalu yang mencapai Rp. 100.000/kg sungguh sangat heboh. Pemerintah langsung mengambil tindakan dengan import cabe dari negara tetangga. Berbagai alasan dikemukakan pemerintah untuk memantaskan keputusan import. Mediapun meliput hampir setiap hari, Ibu rumah tangga mengeluhkan harga tinggi, Â kebahagiaan petani cabe saat itu seperti derita bagi pemerintah dan banyak orang. Berbagai program di Departemen Pertanianpun langsung digelontorkan untuk proyek Penanaman cabe dibanyak wilayah di Indonesia.
Kondisinya sungguh berbeda dengan saat ini. Ketika harga anjlok dititik merugikan, siapa peduli kepada keadaan petani. Apa langkah Pemerintah mengatasi hal ini, sampai saat ini belum terlihat. Mediapun juga tidak terlalu peduli dengan keadaan ini, mungkin bukan berita menarik bagi media. Petani rugi seperti sebuah berita biasa. Makanya berkembang pemikiran jangan jadi petani, sebuah usaha penuh resiko yang susah dipercaya oleh lembaga pembiayaan.
Kondisi ini sebenarnya merupakan tanggungjawab Departemen Pertanian yang harus mengantisipasi keadaan yang sudah bisa diprediksi sebelumnya. Tingginya luasan tanam yang terjadi akibat euforia harga tinggi beberapa waktu yang lalu pastilah berdampak pada over produksi dan menciptakan harga murah. Bukankah ini hukum ekonomi yang sangat populer ketika permintaan sedikit dan volume barang banyak terjadi harga murah, tapi mengapa hal ini tidak terantisipasi. Saya yakin Departemen Pertanian tidak memiliki Data luasan cabe yang riil di lapangan. Buktinya tidak ada antisipasi terhadap keadaan ini, padahal peran Pemerintah( Departemen Pertanian) juga cukup tinggi dalam menciptakan luasan yang saat ini terjadi dengan berbagai program bantuan penanaman.
Langkah yang cepat dan efektif haruslah segera diambil karena apabila harga merugikan ini terjadi dalam jangka waktu yang lama maka petani akan kapok untuk menanam. Dimusim berikutnya akan terjadi penurunan volume penanaman dan akan berdampak pada kenaikkan harga yang menghebohkan lagi. Bukan bantuan uang yang dibutuhkan. Rumus termudah, uang bantuan buat beli cabe di petani dan buang kelaut atau ke bulan ( he he) agar harga kembali normal. Atau mendorong investasi pada pengolahan hasil yang lebih tinggi, seperti industri bubuk cabe (Indonesia masih Import) atau pengeringan cabe sebagai antisipasi apabila terjadi kelangkaan cabe, jangan kemudian mengambil langkah import ketika harga tinggi terjadi.( Import hanya menguntungkan sebagian kecil orang kaya dan negara tetangga).
Kadang saya pingin bilang ke pak SBY dan Menteri Pertanian, " Pak SBY dan pak Menteri ingatlah !! kalau bapak makan gorengan dan cabe lalap sudah tidak pedas petani bapak sedang merugi segera ambil tindakan kalau bapak makan lalap cabe dan gorengan kepedasan ati ati dengan inflasi". Gampang tidak perlu berita dan data beserta angka angkanya.
Tapi siapa peduli, petani masih berjalan sendiri. Departemen yang menaungi juga tidak peduli, media juga sudah tidak peduli, masyarakat juga tidak peduli. Â Rumus 3M bagi petani masih berlaku. Apabila berhasil hanya bisa Makan, apabila sangat berhasil bisa ke Mekah, kalau tidak berhasil ke Malaysia. Jangan jadi Petani hanya ada yang peduli ketika Pemilu sudah dekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H