Begitu juga seringnya kondisi kelekatan manusia dengan pasangannya, dengan karirnya, dengan teman-temannya, dengan hobinya, dengan harta materialnya, dengan tingkah perilakunya, dengan apapun. Semua bisa jadi objek adiksi tempat kita melekatkan diri. Kita rela hancur-hancuran agar jabatan kita tidak lepas, harta materi kita tidak hilang, kecantikan kita tidak luput, dan lainnya. Kita sengaja jual jiwa kita pada objek-objek kelemelakatan itu; pada entitas-entitas selain-Nya itu. Padahal semua itu tidak tetap; berubah-ubah ... padahal semua itu hanyalah perantara dari-Nya yang datang silih berganti selayaknya tukang pos. Kata para ustad-ustad, "yang dengan itu semua kita diuji..."
Orang-orang yang bergantung hanya pada-Nya bukan berarti tidak menerima apa yang datang, justru  dia akan menerima yang datang dengan baik (menggunakannya untuk meningkatkan keberadaan-Nya lebih dekat dengan Tuhan / Keberadaan Absolut) dan akan merelakan yang pergi dengan ringan (seandainya sudah waktunya untuk pergi). Karena sejatinya yang tidak pernah datang adalah yang tidak pernah pergi; adalah yang sudah sejak awal bersama; Tuhan itu sendiri. Tuhan lebih pasti bersama kita dibanding Ibu atau pasangan atau hara atau makhluk Tuhan lainnya yang ada di sekeliling kita. Para makhluk hanyalah numpang lewat dalam perjalanan kita kepada-Nya. Dalam hal ini makna 'zuhud' dan 'kesyukuran' menjadi berdekatan satu sama lain. Sebagaimana dekatnya makna 'ahli dunia' dan 'kekafiran'.
So, kita simpulkan:
(1) Proses diturunkan-Nya biasan keberadaan-Nya (rezeki; berkah; rakhmat, dll) kepada kita adalah juga proses naiknya kita lebih dekat kepada-Nya. Menolak atau menggunakan rezeki untuk menghancurkan keberadaan-keberadaan sama saja menolak mendekatkan diri kepada-Nya. Makanya lawan dari kata syukur (syakir) adalah kufur (kafir).
(2) Diturunkan-Nya rezeki kepada kita itu sayangnya tidak langsung melainkan lewat perantara makhluk-Nya.
(3) Karena Tuhan absolut dan para makhluk relatif, diturunkan-Nya rezeki pada kita menjadi hal yang pasti, tetapi dari arah mana; siapa perantara rezeki dari-Nya itu yang tidak pasti. "Apa yang hilang darimu, akan selalu kembali dalam bentuk yang lain." Pengirim posnya sama tetapi tukang posnya beda-beda.
(4) Karena rezeki yang turun itu adalah 'induksi keberadaan', sedangkan Dialah Keberadaan Absolut, maka jadikan diri-Nya tujuan segala-gala kita; lekatkan diri kita atau jual diri kita hanya pada Keberadaan Absolut. Dialah Keberadaan hakiki SWT tempat kita bergantung dan Dialah SWT tujuan kita menuju, selain-Nya hanyalah riak-riak kosong yang perlu dihargai sesuai hakikatnya. Tukang pos, kiriman, dan kita sebagai penerima pos sama-sama keberadaan nisbi dalam kondisi kesalingbergantungan di jejaring rentetan kebergantungan kepada-Nya. "... semua melalui ragam pintu" iya, tapi apa coba yang melalui ragam pintu itu selain 'induksi keberadaan'?; selain biasan diri-Nya sendiri? kenapa kita bergantung dan mencari biasan-Nya, pembawa biasan-Nya dan bukan pada diri-Nya Sang Sumber itu sendiri?
D. Akhirnya ...
So, trauma tercipta karena kita kecewa harapan kita pada sesuatu selain-Nya tidak sesuai yang diharapkan ... dan memang karena selain-Nya (entah itu ibu, ayah, lingkungan, teman-teman, rumah tercinta) notabenenya dalam konteks pemenuh kebutuhan hanyalah tukang pos yang silih berganti datang dan pergi ya jelas pasti mengecewakan. Ingat "... melalui ragam pintu," adakalanya pintu terbuka dan adakalanya pintu tertutup; adakalanya seseorang membahagiakan kita adakalanya seseorang mengecewakan kita. Itulah realita. Kuncinya terima orang-orang itu sebagai biasan cahaya yang kadang redup kadang terang; sebagai pintu yang kadang terbuka kadang tertutup; sebagai tukang pos yang datang silih berganti... jangan lihat orang-orang sebagai sesuatu yang independen, tetapi sebagai perantara. Apa yang diberikannya? pemenuhan kebutuhan ... kebutuhan fisik, emosional, cinta, kognitif, hingga kebutuhan spiritualitas. Dan apalah kebutuhan-kebutuhan ini selain induksi keberadaan? yang dengan terpenuhinya hal tersebut kita makin meng-ada-di-realita. dan bukankah Dialah SWT keberadaan hakiki itu sendiri? Maka makin meng-ada kita di realita, makin dekat kita dengan-Nya. Dan karena hal tersebut maka "dari-Nya, kepada-Nya," maka kenapa kita khawatir rezeki hilang dan kenapa kita khawatir pembawa rezeki itu mengecewakan sedangkan rezeki dan pembawa rezeki itu sendiri adalah biasan diri-Nya? "dari-Nya, kepada-Nya," semua hal pada akhirnya tentang diri-Nya. Jangan bergantung pada makhluk seakan-akan yang kita cari dari kebergantungan itu adalah hal-hal selain diri-Nya (terus ingat bahwa diri-Nya adalah keberadaan absolut dan makhluknya adalah keberadaan relatif. Keduanya sama-sama keberadaan tetapi yang satu matahari dan yang lain adalah cahaya matahari. Kenapa kita bergantung pada cahyaa matahari dan tidak ke mataharinya langsung?). Diri-Nya-lah yang kita cari di segala perilaku kita. Segala jalan yang ditempuh selalu menuju-Nya; dari-Nya bermula, kepada-Nya bergantung, kepada-Nya juga berpulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H