Aku berproses. Dan begini prosesku yang aku tuangkan dalam cerita yang tak patut diceritakan. Tapi barangkali akan menjadi sangat menarik jika engkau tau di bumi manusia ini benar tidak bisa kau berfikir dengan cara-cara berfikir nabi atau para wali (baca : orang-orang pilihan) apalagi jika fikiran suci manusia telah terkontaminasi yang namanya politik ! maka di abad ke dua puluh satu ini kau semestinya berfikir dengan cara-cara manusia. Manusia sebagai perubah keadaan dengan berbagai kepentingannya.
      Aku mulai dan mengajak engkau berfikir mengapa atmosfer zaman perbedaannya. Aku tidak mau muluk-muluk membandingkan zaman orde baru dengan hari ini. Lihat saja pada tahun 2010 kau bisa telisik kebenarannya bagaimana mahasiswa di Yogya masih bersahabat dengan jalanan – menyuarakan hasil pembacaan matang tentang situasi pemerintahan. Buku-buku sosial-ekonomi-politik dengan kajian kemasyarakatan, teologi pembebasan, pemikiran para tokoh mereka jadikan amunisi sehingga terbentuk suatu konsepsi. Media masa dan jalanan mereka jadikan penyalur konsepsi.
      Aku masih merasakan pada generasiku 2014 bagaimana aksi demonstrasi masih digencarkan kaum gerakkan. Dan kini ? Mahasiswa saja jauh dari buku. Bahkan jika mereka ditanya tentang pendiri bangsanya sendiri, hanya sedikit dari mereka yang mengetahui arah pemikiran para tokoh bangsa. Aku pun begitu kini seakan jauh dari para tokoh pendiri negeriku.
      Ini adalah sejarah. Sejarah baru generasi ku termasuk aku. Generasi Linglung.
      Yogyakarta, Oktober 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H