Mohon tunggu...
Robert Sinaga
Robert Sinaga Mohon Tunggu... Nelayan -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kampanye Ngawur Pilkada DKI

15 Maret 2016   09:40 Diperbarui: 15 Maret 2016   10:51 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begini yang terjadi di Jakarta sana.
Ahok adalah calon terkuat gubernur DKI Jakarta, dan dia kristen. Yang bisa menyaingi Ahok dan muslim? Ada, Ridwan Kamil dan
Tri Rismaharini. Sayangnya, keduanya tidak mau dicalonkan, nalarnya sama, "Ahok sudah baik, bagian kami di sini saja."

Saya percaya untuk orang seperti Ridwan Kamil, menggunakan nama presiden dalam keputusannya sebenarnya untuk gaya-gayaan saja.

Ikut berarti mengurangi salah satu pemimpin baik di negara ini. Tidak elok kan Ahok vs. Ridwan Kamil? Atau Ahok vs. Tri Rismaharini?

Yang tidak punya kualitas atau jaminan seperti ketiga di atas bagaimana? Dipakai trik yang sama dengan pilpres lalu, agama digunakan sebagai alat kampanye, manifestasi adu domba, jadinya Kristen vs. Islam. Jelek sekali bukan? Niatnya sudah tentu bukan lagi menjalankan perintah agama, lah, Jokowi saja dikristen-kristenkan biar bisa dilawan. Dan parahnya, enteng sekali menjalankan trik ini, monyet-monyetnya (the clicking monkeys) masih ada dan selalu berkembang biak. Nilai agama direduksi menjadi alat politik.

Maka sudah seharusnya kita berani mengakui ada yang salah dengan masyarakat kita, bahwa kita sebenarnya sedang sakit. Tidak mengakuinya maka kita tidak akan akan pernah mau berobat, dan tidak mau berobat artinya tidak akan sembuh.

***

Pandangan saya tersebut belum tentu benar, siapa pun sambil beronani bisa berargumen seperti itu. Tapi untuk membuktikan proposisi di atas, begini nanti lanjutannya proses pilkada DKI.

Karena agama hanya dipake sebagai alat politik, maka calon-calon tersebut bukanlah orang-orang tulus, akan ditandai dengan tidak bersatunya mereka. Bukan hanya ada satu calon dari kelompok ini. Untuk sistem demokrasi yang banyak-banyakan suara, ini artinya malapetaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun