Mohon tunggu...
La Ode Yusran Syarif
La Ode Yusran Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Lahir di Desa Kapoa Kecamatan Kadatua - Buton Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buton Bangkit

31 Oktober 2015   02:30 Diperbarui: 31 Oktober 2015   03:13 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"SUKU BUTON TERANCAM PUNAH"

(Sebuah renungan)

Oleh: La Ode Balawa

Penamaan suatu suku bangsa di Nusantara ini lazimnya didasarkan pada ikatan kesamaan bahasa, seperti di Sulawesi Tenggara terdapat suku Tolaki berbahasa Tolaki, suku Muna berbahasa Muna, atau di Sulawesi Selatan terdapat suku Makassar berbahasa Makassar, suku Bugis berbahasa Bugis, atau suku Mandar berbahasa Mandar. Semua ini berbeda dengan suku Buton di Sulawesi Tenggara. Nama Buton bukan berasal dari nama suatu bahasa, melainkan nama suatu negara, Negara Kesultanan Buton. Di balik nama Buton, terdapat sejumlah pendukung bahasa yang berbeda-beda dengan karakter budaya sublokal yang berbeda-beda pula, seperti bahasa Wolio (dulu menjadi bahasa resmi Negara Kesultanan Buton), bahasa Ciacia, bahasa Wakatobi, bahasa Siompu, bahasa Kabaena, bahasa Kamaru, bahasa Burukene, bahasa Katobengke, bahasa Lombe, bahasa, Kadatua, bahasa Ereke/bahasa Kulisusu, bahasa Mawasangka, bahkan (secara historis) termasuk juga bahasa Muna. Dapatlah dikatakan bahwa keberadaan suku-suku bangsa lain ditegakkan di atas kekuatan kultural, sedangkan keberadaan suku Buton lebih ditegakkan oleh kekuatan politis-historis.

 

Keberadaan suku Buton seperti itu kemudian mengalami ujian berat dalam sistem politik dan pemerintahan negara kesatuan RI. Ternyata sangatlah rapuh, suku Buton tercabik-cabik dan hidup merana seperti kerakap tumbuh di batu “hidup enggan mati pun tak mau”. Marilah kita menoleh ke belakang, ketika pertama kali terbentuk Provinsi Sulawesi Tenggara, tubuh suku Buton langsung teramputasi dengan hilangnya tiga bharata dari empat bharata yang dimilikinya, yakni bharata Muna, bharata Tiworo, dan bharata Kulisusu dilepas untuk kemudian dilebur ke dalam satu kabupaten yang kita kenal dengan Kabupaten Muna pada saat ini. Oleh karena brata Muna memiliki bahasa tersendiri (bahasa Muna) dan budaya subetnis tersendiri, maka dalam tempo yang sangat singkat ia mencapai kemapanan sebagai satu suku yang eksis dan kuat, yakni “suku Muna” yang terkenal sekarang ini. Oleh karena kemiripan bahasa, bharata Tiworo cenderung lebih menyatu ke suku Muna. Lain halnya dengan baharata Kulisusu, karena kekhasan bahasa dan kekuatan subkulturnya lebih khas, maka kini ia tampil sebagai “orang Ereke” yang begitu dramatis segera membentuk satu kabuten baru yang kini terkenal dengan Kabupaten Buton Utara.

 

Kondisi yang terparah adalah datangnya musim reformasi yang menurunkan hujan otonomi daerah dan pemilu langsung. Tubuh Buton yang sudah tak utuh itu benar-benar termutilasi dan terbaring ibarat mayat yang tak bisa lagi dikenali oleh siapa pun. Suku Buton yang berbahasa Kabaena menyatu dalam kabuten baru “Kabupaten Bombana” kemudian lebih mengeksiskan diri sebagai suku/orang Kabaena ketimbang sebagai suku/orang Buton. Hal yang sama terjadi pula pada suku Buton yang berbahasa Wakatobi yang menyatu dalam “Kabupaten Wakatobi” kini lebih lantang meneriakkan diri sebagai suku/orang Wakatobi ketimbang sebagai suku/orang Buton. Bahkan semangat dan gerakan suku Buton untuk menyatu dalam ikatan-ikatan bahasa itu meledak secara sporadis dalam setiap perseteruan pemilu langsung yang selalu kacau dan belum bisa ditertibkan sampai saat ini. Kini bermunculan suku Buton yang lebih mengeksiskan diri sebagai suku/orang Ciacia (bagi yang berbahasa Ciacia), sebagai suku/orang Mawasangka (bagi yang berbahasa Mawasangka), sebagai orang Katobengke (bagi yang berbahasa Katobengke), sebagai orang Gu (bagi yang berbahasa Gu), sebagai orang La Kudo (bagi yang berbahasa La Kudo) dan seterusnya. Bahkan orang Wolio yang tinggal di sekitar Keraton Buton pun telah menyatakan diri sebagai orang/suku Wolio, bukan Buton. Lalu apa yang tersisa dari Buton?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun