Amira, jam ditanganku telah menunjuk pukul 4 sore.
Sesuai janjimu, bahwa dikau akan datang sebelum mentari memeluk kaki langit.
Sebelum mentari melambai dan menghampiri malam.
Benar Amira, aku akan menantimu, atas nama harapan itu.
Atas nama setia membalut asa. Setia kita. Harapan kita. Bersama.
Amira, ragaku kini menghadap samudera.
Ingin sekali rasanya mencoba berbisik pada hembusan angin, dan mengatakan:
Wahai angin, sampaikan padanya jika ruang hati ini hanya untuknya, tak ada lagi selain dirinya.
Sampaikan pula padanya jika kerinduan ini telah membuncah menggerogoti jiwa. Butuh dekapan hangat peneduh jiwa. Datanglah malaikatku. Datanglah Amiraku.Â
Amira, sekarang sudah tepat jam 5.
Kenapa dikau belum datang, sayang!
Haruskah aku membelah samudera, lalu menjemputmu 'tuk datang ke pantai ini.
Atau aku harus apalagi untuk membuktikan rasa ini padamu.
Amira, kini rintik hujan tlah membasahi.
Dikau belum juga datang.
Padahal senja hampir menghilang.
Amira, rintik hujan pun tlah beranjak pergi.
Namun dikau masih saja tak kunjung datang.
Lalu pada siapa rasa ini akan ditambatkan,
pada siapa serpihan rindu ini akan ditaburkan, kalau bukan padamu.
Amira, separuh mentari tlah menghilang.
Tersisa pelangi di penghujung senja.
Ku tahu jika dikau tak mungkin datang menghampiri.
Karena tepat setahun silam dikau pergi untuk selamanya.
Amira, Ragaku terlalu berharap kehadiranmu.
Jiwaku terlalu mengikuti bisikan kalbu,
hingga imajinasiku seolah berpesan bahwa dikau masih ada.
Amira, senja tlah menggapai malam.
Juga indah pelangi menghilang bersamanya.
Aku tahu, aku tahu jika dikau tak mungkin bisa datang menemui dan menemaniku.
Namun, ketahuilah jika aku tetap menunggumu hingga akhir waktu.
Hingga pelangi yang hilang bersama senja datang kembali bersama malaikat penjagamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H