Saat salah satu murid dari perguruan A dibunuh/dilukai murid perguruan B, pasti suheng-suhengnya menuntut balas dengan menyerbu perguruan B, kalau perlu sampai dibumihanguskan. Aksi balas membalas ini biasanya tidak akan selesai sampai salah satu perguruan hancur. Kalaupun berdamai, biasanya hanya sementara karena ada murid yang masih menyimpan dendam atau gatal ingin menguji kesaktian. Hal ini dapat dimulai dari hal sepele seperti saling ejek mengejek atau sekadar bersenggolan di pasar saja.
Jadi kalau sudah begini, apa yang mesti dilakukan? Kalau memang benar bahwa kesenjangan sosial dan berebut periuk nasi sebagai dasar dari semua pertikaian anggota TNI-POLRI, tentu saja sekadar menghukum oknum-oknum ataupun anggota yang terlibat tidak akan menyelesaikan masalah. Selagi masing-masing pihak masih menganggap keberadaan yang lain sebagai ancaman bagi mengepulnya periuk nasi mereka, masalah ini tidak akan selesai-selesai bagaikan api dalam sekam.
Saya bukanlah seorang ahli, tapi saya merasa masalah ini tidak akan selesai hanya dengan berjabat tangannya dan bercipika cipikinya para petinggi POLRI dan TNI di televisi nasional. Selagi masih ada perut yang lapar, dan keberadaan yang lain dianggap sebagai penyebabnya, masih akan ada konflik yang terjadi antara pengayom dan pelindung negara kita yang tercinta, Indonesia.
Salam perut yang lapar,
Laode Makrus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H