Keributan yang terjadi di Baturaja antara polisi melawan TNI hendaknya bukan hanya dilihat sebagai suatu konflik yang terisolir, tapi juga merupakan api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat timbul di mana saja.
Sebagai seseorang yang pernah tinggal di daerah Sumatra Selatan dan mempunyai teman dan keluarga di sana, ijinkan saya mengulas soal ini dari perspektif pribadi (pengalaman) saya.
Asal muasal keributan yang katanya bermula dari pelanggaran lalu lintas oleh seorang anggota TNI memang terasa janggal bila dinalar akal sehat. Seorang polisi lalu lintas memang berhak menghentikan pengguna jalan yang melanggar aturan, namun apabila si pelanggar adalah sesama anggota polisi ataupun anggota TNI, sudah selayaknya kasus itu diberikan kepada yang lebih berwenang, yaitu provoost atau polisi militer. Lagipula apakah dengan melanggar lampu merah seseorang menjadi layak ditembak mati? Kasus yang sepertinya terlihat sepele dan kecil di mata awam ini akhirnya menjadi besar dan belum terlihat bagaimana akan berakhir.
Sepengetahuan saya, pergesekan antara TNI dan POLRI sebenarnya sudah berakar jauh di masa Orde Baru. Saat itu ABRI (khususnya Angkatan Darat) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto memiliki kekuasaan yang sangat-sangat besar, jauh melebihi kekuasaan polisi (yang masih di bawah ABRI). Banyak perwira AD yang sekaligus merangkap sebagai pengusaha, ataupun memiliki jabatan penting di perusahaan swasta multinasional ataupun BUMN. Di level yang lebih bawah, banyak pengusaha lokal, termasuk perkebunan di SumSel yang menggunakan jasa pengamanan dari TNI AD. Sebaliknya saat itu, kepolisian seakan dianggap sebagai anak tiri ABRI, dengan berbagai kekurangan baik dari segi logistik ataupun kekuasaan.
Saat itu sudah sangat lumrah bagi pengusaha baik kecil ataupun besar untuk memajang foto dirinya dan seorang perwira TNI (hampir semua TNI AD) di ruang tamu, entah dengan tujuan untuk menakut-nakuti atau kebanggaan saja. TNI adalah simbol kekuasaan dan keamanan, dan bagi para pengusaha lokal dua hal itu adalah syarat mutlak kelanggengan bisnisnya. Teman-teman dan saudara-saudara saya yang pengusaha pasti memiliki nomor telepon seorang anggota TNI (AD) yang dapat diminta tolong sewaktu-waktu menghadapai masalah, termasuk masalah dengan polisi. Percaya atau tidak, saat itu sepengetahuan saya hampir tidak ada polisi yang berani cari perkara dengan 'anggota'. Sudah pemandangan biasa kalau kendaraan 'berwarna hijau' menerobos lampu merah tidak ada polisi yang berani menghentikan.
Semua berubah setelah era Orde Baru berakhir. Di masa reformasi, muncul wacana untuk mengembalikan TNI ke barak, mecopot jabatan strategis yang dimiliki perwira-perwira TNI saat itu, dan mengembalikan fungsi pengamanan dalam negeri ke POLRI yang dipisahkan dari ABRI. Presiden di masa reformasi pun banyak membuat kebijakan yang dirasa menguntungkan POLRI, termasuk dalam hal peningkatan taraf hidup. POLRI yang dulu seperti anak tiri dalam ABRI, mendadak seakan memiliki kekuasaan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Bukan pengusaha namanya kalau tidak bisa mencium perubahan (kesempatan). Teman-teman dan saudara saya mendadak punya banyak kenalan perwira POLRI. Parsel-parsel dan katering yang dahulu biasa dikirim setiap perayaan hari raya ke rumah petinggi AD mulai dialihkan ke rumah petinggi polisi. Pigura foto yang ada di dinding pun bertambah dengan foto si perwira polisi.
Pengusaha yang memiliki basis usaha perkebunan yang rata-rata berlokasi di kota kecil seperti Baturaja lain lagi, mereka umumnya masih menjalin hubungan baik dengan petinggi AD. Hal ini disebabkan saat itu hanya TNI yang memiliki markas dan logistik yang dekat dengan lokasi perkebunan mereka, sehingga keamanan lebih terjamin.
Hal ini mulai berubah setelah polisi memiliki sumber daya untuk memperluas 'kekuasaannya' di daerah pelosok. Kebijakan di era reformasi yang 'memihak' polisi memungkinkan dibukanya markas-markas polisi baru, termasuk juga markas brimob yang merupakan kesatuan elit. TNI AD yang selama ini menguasai lahan pengamanan di daerah mulai tersaingi oleh 'saudara tiri' mereka. Beberapa perkebunan di Sumsel pun mulai memakai jasa brimob untuk pengamanan.
Masalah periuk nasi memang sering bikin ribut. Prajurit TNI sekarang gajinya lebih kecil dari anggota polisi di level yang sama. Ditambah lagi sekarang peluang mereka untuk mencari 'penghasilan tambahan' sudah dibatasi dan disaingi oleh polisi. Yang dulunya anak emas sekarang nasibnya terlunta-lunta, belum lagi dengan berita-berita mengenai masalah pelanggaran HAM yang sepertinya hanya menghantui anggota TNI dan jarang mengenai anggota polisi. Hal ini menambah kesenjangan yang terjadi antar mereka.
Anda pernah nonton film kungfu hongkong seperti Ip Man? Hal yang terjadi di Baturaja saat ini menurut saya mirip seperti film kungfu, saat masing-masing perguruan kungfu saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Pengaruh dan kekuasaan identik dengan mengepulnya periuk nasi perguruan yang bersangkutan. Sehingga masing-masing merasa keberadaan perguruan kungfu yang lain sebagai ancaman akan keberlangsungan hidupnya.