Ada yang tawanya dipotong duka dalam bencana nan belum jua usai. Â
Selalu, di museum keabadian kita letakkan kenangan pada batas senja ingatan yang belum rampung menua.
Deburan kesakitan, reruntuhan air mata, puing-puing raga yang senantiasa tumpah pada ibu pertiwi.
Satu hari yang lalu, satu minggu yang lalu, satu bulan yang lalu, dan satu tahun yang lalu, sorak-sorak kesakitan pada buletin harian di ibu pertiwi tak bosan mengeja ada bencana lagi dan lagi.
Ada anak-anak yang senang bermain air, ada ibu-ibu yang berharap subuh mencuci baju, ada lelaki tua yang mengkhayalkan saku yang esok penuh yang bisa disisihkan membeli segelas kopi dan membeli topi pelindung kepala cucunya yang lusa akan masuk sekolah. Harapan mereka dikoyak-koyak traedi ibu pertiwi.
Duka kita tak hanya air mata hari ini, ada tulang rusuk dan juga tulang punggung yang mesti dikubur tragedi bencana negeri. Pada tubuh mereka ada harapan yang mesti layu.
Peluh mereka disapu ombak, harapan mereka digusur lumpur-lumpur dan bahagia kami terlukai debu puing-puing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H