Mohon tunggu...
Puisi

Satu Detik

31 Maret 2016   23:48 Diperbarui: 7 April 2016   02:03 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Medan sangat panas hari ini. Bulan Mei, musim kemarau sudah menyapa beberapa minggu yang lalu. Jika kau menutup matamu dan membayangkan posisi matahari maka kira-kira dia berada di tepat di garis khatulistiwa, belahan bumi utara sedang mengalami musim semi sedangkan belahan bumi selatan memasuki musim gugur.  Akuntansi Keuangan Lanjutan II, kau seharusnya tidak memasuki kelas itu. Riana tidak pernah tahu alasan dia terperangkap dalam dunia orang-orang yang menghabiskan waktunya menghitung uang yang tidak mereka miliki. Dia menghabiskan waktu tiga tahun ini untuk mempelajari cara pencatatan keuangan yang bahkan sepersepuluh dari uang yang  dicatat itu tidak pernah dia lihat.

“ Menulis lagi,“ Arisa menyikut tangan Riana tetapi pandangan matanya lurus kedepan kearah seorang lelaki berusia sekitar 50 tahunan. Gadis itu seperti biasa akan sibuk menuliskan sesuatu entah itu di buku catatan atau di buku bacaan. Riana, biasa dipanggil Ana, gadis berambut potongan pendek dengan poni yang kini sudah melewati alisnya itu sangat suka bermain dengan kata-kata. Menjadi penulis adalah cita-citanya tetapi dia bahkan tidak pernah mengirimkan tulisannya ke majalah, koran atau bahkan mading.

“Hmmm“ gadis itu menjawabnya, matanya mengikuti pandangan Arisa yang tertuju pada pak Darmawan yang sedang menjelaskan tanpa berminat memperhatikan apakah mahasiswanya tertarik mendengarkan atau tidak. Riana tahu Arisa hanya berpura-pura mendengarkan pak Darmawan.

“Sudah sampai dimana?“ Riana bertanya pada Arisa yang dibalas dengan mengangkat bahunya pertanda tidak tahu. Riana memperhatikan sekeliling, bukan hanya dirinya yang tidak tertarik dengan penjelasan pak Darmawan. Hampir semua mahasiswa sibuk dengan gadget mereka sambil sesekali mengangguk kearah pak Darmawan, entah mereka mengangguk untuk apa.

“Walaupun kau tidak memperhatikan masa kau tidak tahu sudah sampai dimana, minimal sudah sampai halaman berapa,“ protesnya sambil mulai membolak-balik buku menyesuaikan dengan topik yang ada di layar proyektor.

“Dari tadi dia selalu menghubungkan materi dengan pengalamannya waktu kuliah di Inggris, iya kalau berhubungan, tidak ada hubungannya dari tadi,“ Arisa mengoceh sambil menutup mulutnya dengan tangan agar pak Darmawan tidak memperhatikan kalau dua orang mahasiswanya kini sedang membicarakan dirinya.

“Semua bisa berhubungan, tergantung kau menghubungkannya bagiaman,” ucap Riana pelan, Arisa mengangguk pasrah lalu memberikan gadis itu isyarat agar memperhatikan pak Darmawan yang kembali menghubungkan materinya dengan pengalaman belajarnya di Inggris.

Bulan Mei di Medan adalah bulan yang paling menyiksa, udara sangat panas dan kelas ini hanya dilengkapi oleh satu unit air conditioner yang terkadang remote nya hilang. Riana memutuskan mendengarkan penjelasan pak Darmawan yang masih menghubungkan materi dengan kehidupannya saat di Inggris. Sesekali Riana menguap, dirinya benar-benar tak berminat untuk mendengarkan lagi tetapi ini adalah minggu-minggu terakhir perkuliahannya, oktober tahun ini dia seharusnya sudah lulus jika semua berjalan dengan rencananya.

 ***

“Ana?“ lagi-lagi Arisa mengganggunya yang sedang asyik menulis.

“hmm“ dia menjawabnya tanpa menoleh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun