1. Pendahuluan
Topik bahasan mengenai sapaan (tutur sapa) dan kesopanan stau kesantunan telah menjadi bahan kajian menarik, tidak hanya karena topik ini berkaitan dengan aspk-aspek sosial budaya pemakaian bahasa, tetapi terutama karena topik ini dapat disoroti dari berbagai sudut pandang. Fakta empirik menunjukkan bahwa, baik sapaan maupun kesantunan, keduanya merupakan unsur bahasa yang penting dalam proses komunikasi. Hal ini jelas terlihat pada beberapa pustaka yang secara bervariasi menjelaskan kedua topik tersebut, antara lain seperti ditemukan dalam pustaka pragmatik, tindak tutur, dan sosiolinguistik. Bahkan Linda Thomas dan Wareing dalam buku Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan (2007:232—235) telah secara eksplisit memuat tentang sistem sapaan, dan secara tersirat menjelaskan tentang kesantunan di bawah topik “Bentuk Diperhalus dan (Mitigated Form) dan Bentuk diperkasar (Aggravated Form) (hlm. 128—130). Realitas semacam ini menggambarkan bahwa sapaan dan kesopanan sebagai fenomena dan konsep universal, artinya dapat ditemukan di dalam semua bahasa di jagat ini.
Penjelasan di atas sesungguhnya menempatkan topik sapaan dan kesantunan dalam kerangka pemakaian bahasa. Jika dihubungkan dengan pembidangan linguistik, kedua topik ini sudah tentu tercakup di dalam linguistik makro atau linguistik lintas bidang (interdisipliner). Secara khusus bahasan mengenai kedua hal ini telah menjadi salah satu substansi telaah bahasa dalam dimensi sosial budaya pemakainya.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiolinguistik; sebuah penugasan yang mempersepsikan secara tepat locus dari topik sapaan dan kesantunan. Meskipun demikian, tulisan ini tidak mengaji sistem sapaan dan kesantunan bahasa oleh penutur bahasa tertentu, melainkan hanya memaparkan konsep, cakupan, dan contoh seadanya. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman, mempertajam konsep, dan memperluas wawasan yang berkaitan dengan topik-topik yang tercakup di dalam studi sosiolinguistik.
2. Bahasan
2.1 Sapaan
Penjelasan mengenai sapaan ini mencakup pengertian dan bentuk-bentuknya. Di samping itu, karena topik ini dibahas dalam konteks sosiolinguistik, maka system pemakaiannya pun perlu dijelaskan di bawah subtopik sistem sapaan.
2.1.1 Pengertian
Kata sapaan,menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002:998), berarti ‘kata ajakan untuk bercakap; teguran; ucapan, yang dalam konteks linguistik berarti ‘kata atau frasa untuk saling merujuk dalam pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan di antara pembicara itu, seperti Anda, Ibu, Saudara. perkataan untuk menegur (mengajar berckap-cakap, dsb). Arti leksikal yang merujuk pada kamus tersebut bergayut dengan pengertian secara konseptual yang dikemukakan oleh sejumlah pakar.
Aslinda, dkk. (2000:3) dengan mengutip pendapat Kristal (1991), mendefinisikan sapaan sebagai cara mengacu seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Pendapat ini sejalan dengan Nababan (1993:40), yang mengatakan bahwa sistem tutur sapa (sapaan) adalah alat seseorang pembicara untuk menyatakan sesuatu kepada orang lain. Sapaan ini akan merujuk kepada orang yang diajak bicara agar perhatiannya tertuju kepada pembicaraan.
Menurut pengertian yang dikemukakan Aslinda dan Nababan, sapaan menyiratkan hubungan komunikasi langsung antara pembicara dengan mitra wicaranya.Hubungan ini memberikan penegasan perihal perbedaan antara sapaan dan sebutan. Sapaan diderivasi dari verba menyapa, sedangkan sebutan diderivasi dari verba menyebut(-kan). Implikasi dari hubungan ini ialah bahwa menyapa merujuk ke orang ke-2, sedangkan menyebut merujuk ke orang ke-3, baik tunggal maupun jamak. Menurut pengertian ini, kata-kata seperti beliau tidak masuk kategori sapaan.
Konteks pertuturan yang memungkinkan digunakannya sapaan ialah tuturan langsung, artinya penyapa dan pesapa berada dalam tuturan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Pateda (1987:69), bahwa kata sapaan adalah kata atau ungkapan yang dipakai dalam sistem tutur sapa. Adanya sistem sapaan ini mempengaruhi pula kata-kata yang digunakan dan cara pengungkapannya yang menunjukkan hubungan dan peran sosial antarpelibat tuturan. Jika demikian, maka konsep sapaan yang dimaksudkan dalam tulisan ini berbeda dengan pendapat Kridalaksana (1978:15) yang mengatakan bahwa sistem tutur sapa adalah sistem yang mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Para pelaku tersebut terdiri atas: pelibat 1 (pembicara), pelibat 2 (yang diajak bicara), dan pelibat 3 (yang dibicarakan). Realitas pemakaian sapaan menunjukkan bahwa pelibat 1 dan pelibat 3 hanya disebut, bukan disapa.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dirumuskan konsep sapaan (tutur sapa) sebagai bentuk lingual (dapat berupa morfem, kata, atau gabungan kata) yang digunakan oleh pelibat untuk saling menyapa atau menegur dalam suatu peristiwa komunikasi. Bentuk kebahasaan dimaksud dipilih dan digunakan berdasarkan konteks sosial budaya, misalnya jenis kelamin, profesi, situasi, status hubungan antara partisipan, budaya, status sosial, dan sebagainya. Bentuk lingual (sapaan) dimaksud dapat berupa istilah kekerabatan, kata ganti, nama orang, profesi, dan bentuk-bentuk lain yang berlaku dalam suatu masyarakat tutur. Bahasan tentang bentuk sapaan akan dipaparkan pada bagian berikutnya.
2.1.2 Bentuk Sapaan
Bentuk (lingual) sapaan yang dipaparkan dalam bahasan ini mengacu pada pendapat Braun (1988:7—17). Menurutnya, bentuk sapaan (forms of address) terdiri atas 3 macam, yakni: (1) pronominal persona; (2) verba; dan (3) nomina.
Pronomina persona terdapat dalam semua bahasa secara universal, yang mencakup pronominal pertama tunggal dan kedua tunggal. Khusus dalam kaitan dengan bentuk sapaan, yang oleh Braun disebut pronouns of address, penulis tetap konsisten untuk tidak memasukkan pronomina persona pertama dan ketiga, baik tunggal maupun jamak sebagai bagian dari bentuk sapaan. Pronomina persona pertama dan ketiga tunggal dan jamak dimasukkan ke dalam kategori ‘sebutan’ (digunakan untuk menyebut).
Perihal pronomina persona, Brown/Gilman (1960) menggunakan simbol T dan V, yang diadopsi dari bahasa latin tu dan vos. Pemakaian simbol ini berkaitan dengan kesantunan (Braun 1988:8), yang akan dibahas pada bagian lain tulisan ini.
Verba yang menyiratkan sapaan (verbs of address) dipaparkan Braun dengan menggunakan contoh kalimat bahasa Finlandia, Mihin menet? ‘Where do you go?. Menurut Braun, verba mene-t merupakan bentuk sapaan yang tersirat di dalam bentuk infleksional –t sebagai pemarkah kata ganti orang kedua tunggal. Bentuk semacam ini secara tersirat menunjukkan sapaan. Sama halnya dengan dalam bahasa Jerman, bentuk komm! ‘come!’ (pronominal persona kedua tunggal) dan kommt! ‘come!’ (pronominal persona kedua jamak).
Verba sapaan sebagaimana contoh bahasa Finlandia ataupun bahasa Jerman sudah tentu tidak berlaku bagi bahasa-bahasa yang tidak bertipologi fleksi. Bahasa-bahasa seperti bahasa Indonesia yang bertipologi aglutinasi tidak memiliki verba bermarkah pronomina persona. Meskipun tidak terdapat dalam semua bahasa, namun verba sapaan ini menarik untuk dikaji jika tipologi bahasanya memungkinkan karena hal ini menjadi sarana pengungkap sapaan (dan kesantunan) terselubung.
Bentuk lain dari sapaan ialah nomina, yang oleh Braun (1988:9) disebut nouns of address. Bentuk nomina sapaan dimaksud mencakup: (1) nama (names), (2) istilah kekerabatan (kinship terms), (3) titel berdasarkan karekteristik sosial dari suatu komunitas, misalnya Mr./ Mrs. Dalam bahasa Inggris, atau Herr/ Frau dalam bahasa Jerman, (4) gelar dan pangkat, seperti Prof., (5) kata benda abstrak yang merujuk ke kualitas pesapa (addressee ‘yang disapa’), misalnya: (your) grace, (your) honor, (your) excellency, (6) profesi, misalnya driver, (7) Kata-kata yang menyatakan hubungan tertentu, seperti friend, (8) Kata-kata yang memunculkan kasih sayang, misalnya: No (Melayu Larantuka),(9) kata yang sepadan dengan istilah kekerabatan tetapi sudah menyatu di dalam nama, seperti: Abu Ali (Arab) ‘ayah dari Abu’.
Berbagai bentuk sapaan seperti diuraikan di atas, keberadaan dan pemakaiannya bergantung pada sistem pemakaian setiap bahasa. Sehubungan dengan itu, bahasan yang lebih cermat akan diperoleh jika dilakukan dengan berfokus pada bahasa tertentu. Dengan demikian akan diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai bentuk sapaan dalam bahasa tertentu dimaksud.
2.1.3 Sistem Sapaan
Kata sistem diartikan sebagai perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, dan dapat pula diartikan tata cara/metode untuk melakukan sesuatu (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002:1076). Sementara sapaan artinya ‘kata atau frasa untuk saling merujuk dalam pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan di antara pembicara itu. Jika demikian, maka sistem sapaan artinya ‘tata cara menyapa’. Secara konseptual, sistem sapaan adalah keseluruhan tata cara/aturan/ kaidah yang berhubungan dengan pemakaian bentuk sapaan di dalam berkomunikasi sesuai dengan sistem pemakaian bahasa pada suatu guyup tutur. Braun (1988:12) menjelaskan bahwa sistem sapaan (the system of address) terdiri dari keseluruhan bentuk beserta hubungan antara bentuk-bentuk itu di dalam suatu bahasa. Bentuk dimaksud ialah bentuk sapaan, dan hubungan dimaksud ialah pemakaian bentuk-bentuk dimaksud.
Kajian terhadap sistem sapaan pernah dilakukan oleh Susan Ervin-Tripp (1973) (Pride and Holmes, 1979:228) terhadap bahasa-bahasa di Amerika. Dijelaskannya bahwa tutur sapa digunakan berkombinasi dengan nama dan gelar, dengan rincian sebagai berikut:
1.Sapaan + nama depan
2.Sapaan + nama keluarga
3.Sapaan + nama depan dan nama keluarga
4.Sapaan + gelar dan nama depan
5.Sapaan + gelar dan nama keluarga.
Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Paulston (1984) (ibid. hlm. 229—230) terhadap kata ganti sapaan dalam bahasa Swedia. Dalam penelitian ini, ia mengatakan bahwa kata sapaan yang pemakaiannya dikombinasikan dengan nama, gelar, dan zero (Ø) mengandung beberapa nilai hubungan, antara lain: keintiman, persaudaraan, dan kesopanan.
Sementara itu Brown dan Ford (1972) seperti yang dikutip oleh Aslinda, dkk (2000:3) mengatakan bahwa dalam interaksi orang menggunakan pilihan bentuk linguistik berdasarkan hubungan antara pembicara dan mitra wicara secara rasional. Mereka menemukan kaidah sapaan yang berupa pilihan nama depan (first name) yang sifatnya resiprokal atau gelar diikuti nama belakang (title + last name).
2.2 Sapaan Kekerabatan
Sapaan kekerabatan ialah sapaan yang berhubungan dengan pertalian darah dan pertalian perkawinan. Pertalian darah disebut pertalian langsung, sedangkan pertalian perkawinan disebut pertalian tak langsung (Aslinda, dkk. (2000:7-12). Braun (1998:9) istilah kekerabatan (kinship terms) berhubungan dengan pertalian darah dan keturunan.
Sapaan kekerabatan dirunut mulai dari pembicara sebagai EGO. Dari pembicara dirunut ke belakang berturut-turut dari ayah-ibu, kakek-nenek, dst., dan ke depan ke anak, cucu, dst. Dari sini ditemukan sistem sapaan kekerabatan yang diwahanai oleh bentuk-bentuk tertentu dengan makna dan nilai-nilai tertentu pula berdasarkan latar sosial guyup tuturnya. Sebagai contoh, dalam bahasa Sabu, sapaan untuk ayah ialah ama. Namun bentuk ama juga digunakan untuk menyapa anak laki-laki dengan makna ‘manja’.
Sebagaimana diutarakan terdahulu bahwa sapaan kekerabatan sudah tentu menggunakan bentuk (istilah) kekerabatan. Hal ini dapat dikatakan bersifat universal. Namun ada pula hal-hal yang bersifat khas untuk setiap bahasa, misalnya istilah kekerabatan bahasa tertentu hanya sampai pada lapis keturunan kedua, dan pada bahasa lainnya istilah kekerabatan bisa mencapai lapis keturunan ketiga, bahkan keempat.
Kekhasan lainnya terletak pula pada bentuk lain yang dipadukan dengan istilah kekerabatan di dalam tindakan menyapa. Pada guyup tutur tertentu, sapaan untuk ayah dibolehkan diikuti dengan nama, sementara pada guyup tutur lainnya, sapaan ayah tidak boleh diikuti nama. Sapaan yang dikuti nama masih lagi di rinci: nama depan, nama belakang, nama kecil, nama marga, dan lain-lain. Hal ini pun merupakan karakteristik sistem sapaan dalam guyup tutur tertentu.
Sapaan untuk ayah dan ibu pun sering mengambil bentuk alternasi. Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia terdapat bentuk untuk menyapa ayah: ayah, yah, papa, pap, papi, pi, dan untuk menyapa ibu: ibu, bu, bunda, ibunda, mama, mam, mami, mi.Demikian halnya dengan bentuk kata kekerabatan lainnya. Bentuk dan pilihan penggunaannya secara keseluruhan terangkum di dalam sistem sapaan kekerabatan.
2.3 Kesantunan
Kesantunan merupakan merupakan unsur penting di dalam tindakan berbahasa. Yule (2006:104) menyoal kesantunan yang disinonimkan dengan kesopanan dengan meneankan pada tingkahlaku sosial atau etiket di dalam budaya. Lebih lanjut dikatakannya bahwa kesantunan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Pernyataan Yule ini lebih menekankan kesantunan pada efek yang ditimbulkan oleh tindakan berbahasa yang diperlihatkan oleh mitra wicara. Dengan kata lain, ekspresi bahasa dikatakan sopan jika mitra wicara menunjukkan ekspresi wajah menyenangkan. Sebaliknya, ekspresi bahasa dikatakan tidak sopan jika mitra wicara menunjukkan ekspresi wajah tidak menyenangkan, misalnya cemberut. Tentang wajah/ muka (face) dibahas pula oleh Brown dan Levinson (Nadar, 2009:161). Keduanya berpandangan bahwa muka dibedakan atas: muka positif dan muka negatif. Muka positif diasosiasikan dengan penerimaan oleh orang lain, dalam hal ini mitra wicara, sebaliknya muka negatif diasosiasikan dengan penolakan.
Kesopanan dapat dinyatakan melalui pilihan kata (diksi) (Rahardi, 2005:125). Diksi dimaksud dianggap sebagai penanda kesantunan, seperti: tolong, mohon, silakan, mari, ayo, coba, harap, sudi kiranya. Kalimat “Berikan surat ini kepada Aurel” tidaklah sesopan “Tolong berikan surat ini kepada Aurel”. Kalimat kedua dikatakan lebih halus daripada kalimat pertama, artinya kalimat kedua memiliki kadar kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kalimat pertama.
Lakoff (1973) di dalam bukunya berjudul Politeness, Pragmatics and Performatives, mengajukan 3 kaidah kesantunan, yakni: keformalan, kebimbangan/ketidaktegasan, dan persamaan (Simpen, 2008:53—54). Simpen menjabarkan pendapat Lakoff tersebut, sebaai berikut: jangan memaksa mitra wicara, berbuatlah agar mkitra wicara Anda bisa menentukan pilihan, dan bertindaklah seolah-olah Anda dan mitra wicara Anda sama.
Pendapat Lakoff tersebut searah dengan prinsip kesantunan Leech (Nadar, 2009:29—31), yang mencakup sejumlah maksim, yakni: (1) maksim kebijaksanaan (tact maxim) yang berorientasi pada kerugian sekecil mungkin pada mitra wicara; (2) maksim kedermawanan (generosity maxim)berorientasi pada keuntungan diri sendiri sekecil mungkin; (3) maksim pujian (approbation maxim) berorientasi pada sesedikit mungkin mengecam orang lain); (4) maksim kerendahan hati (modesty maxim) yang berorientasi pada puji diri sendiri sesedikit mungkin; (5) maksim kesepakatan (agreement maxim) yang berorientasi pada sesedikit mungkin ketidaksepakatan dengan mitra wicara; dan (6) maksim simpati (sympathy maxim) yang berorientasi pada kurangi antipasti terhadap mantra wicara. Pemetaan maksim dalam bentuk penyepasangan berpusat pada orang lain dan diri sendiri.Orang lain (mitra wicara) diperlakukan lebih penting daripada diri sendiri, dan sudah tentu dengan sendirinya orang lain akan memberikan reaksi yang sama. Di dalam maksim-maksim tersebut tersirat pengertian bahwa seseorang pelibat wicara harus membangun kerja sama untuk menciptakan rasa saling menghargai dan empati satu sama lain sehingga saling santun antara satu dengan yang lainnya.
Kesantunan pun dirasakan ketika suatu maksud disampaikan secara tidak langsung. Semakin lugas penyampaian maksud dipandang semakin tidak santun. Perhatikan contoh berikut ini.Be su lapar, makan do. (Melayu Kupang) ‘Saya sudah lapar, makan dulu’ tidak lebih santun jika dibandingkan dengan Su jam 2 ni, belum lapar ko? ‘Sudah jam 2, belum lapar?’ Baik kalimat pertama dan kalimat kedua, kedua-duanya mengandung maksud ‘mengajak makan’, namun cara penyampaian yang kedua lebih menyentuh perasaan (solider) mitra wicara ketimbang rasa laparnya. Mitra wicara bisa saja memenuhi ajakan bukan karena lapar.
Di samping paparan di atas, hal penting yang berkaitan dengan kesantunan ialah pemakaian bentuk-bentuk sapaan. Seseorang bernama Ira (ibu) yang mempunyai anak pertama bernama Marcy. Ira kemudian disapa Mama Marcy atau Ibu Marcy yang secara sosial dipandang lebih sopan dibandingkan dengan jika ia disapa Ira, Ibu Ira, atau Bu Ira.
Fenomena ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara sapaan dengan kesantunan. Sapaan, dalam pemakaiannya dapat memberikan gambaran mengenai santun atau tidak santunya berinteraksi, yang dalam istilah lain sering disebut sebagai sapaan hormat dan sapaan lepas hormat. Apapun istilahnya, dan bagaimanapun sistem sapaan yang dikaitkan dengan kesantunan, yang pasti bahwa pilihan bentuk sapaan dan kesantunan berada di dalamsebuah kerangka norma berdasarkan karakteristik sosial budaya guyup tutur. Orang Sabu, laki-laki bernama Dominggus, akan merasa dihormati jika disapa Mahari, ketimbang disapa Domi, Minggus,Minggu (bentuk elips), atau Dominggus. Sapaan Mahari terbentuk dari ama disingkat ma-, ditambah minggus yang diasosiasikan bentuknya dengan minggu (hari). Inilah contoh sapaan dan kesantunan pada latar budaya Sabu.
3. Penutup
Paparan terdahulu menunjukkan bahwa salah satu variasi penggunaan bahasa adalah penggunaan sapaan (sistem tutur sapa/ system sapaan). Hal ini mengindikasikan bahwa bentuk-bentuk tutur sapa yang digunakan sebagai sistem sapaan sarat akan makna sosial budaya. Artinya sangat dipengaruhi oleh norma-norma kebahasaan dan pola-pola budaya berbahasa sebagai salah satu wujud perilaku sosial. Hal ini berarti bahwa setiap pilihan variasi bentuk tutur sapa mengandung nilai-nilai tertentu, antara lain berupa sikap dan perasaan hormat atau pun persaudaraan terhadap pihak yang disapa (Brown dan Gilman dalam Kelore, 1999:21).
Dalam bahasa yang banyak mengandung berbagai jenis penanda status untuk sapaan, pemakainya harus memahami terlebih dahulu hierarki sosial agar tahu kapan harus memberi hormat dan bersikap rendah hati, dan harus pula belajar menempatkan diri/ memosisikan diri di dalam hierarki itu agar bisa menggunakan bentuk sapaan/sebutan yang benar (Muhlhäuser dan Harrė, 1990 dalam Thomas dan Wareing, 2007:234).
DAFTAR PUSTAKA
Aslinda, dkk. 2000. Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di Kabupaten Agam. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.
Braun, Friederike. 1988. Terms of Address: Problems of Patterns and Usage in Various Languages and Cultures (Edited by Joshua A. Fishman). Berlin: Mouten de Gruyter.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (Ed.). 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kelore, Efrem. 1999. Sistem Tutur Sapa dalam Bahasa Kedang di Kabupaten Flores Timur (skripsi tidak terbit). Kupang: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Nusa Cendana.
Kridalaksana, H. 1978. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende: Nusa Indah.
Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ohoiwutun, Paul. 2002. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Visipro.
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Pride, J.B. and Janet Holmes. 1979. Sociolinguistics. Penguin Books.
Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rahardi, R. Kunjana. 2006. Dimensi-dimensi Kebahasaan. Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini. Jakarta: Erlangga.
Simpen, I Wayan. 2008. Sopan Santun Berbahasa Masyarakat Sumba Timur. Denpasar: Pustaka Larasan.
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan (terjemahan Sunoto, dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yule, George. 2006. Pragmatik (Terjemahan Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H