Pertama kali melihat ada beberapa pekerja dan bambu-bambu yang di pasang, saya sempat mengira jalan lintas bawah tanah atau underpass di dekat kawasan Thamrin sudah dimulai pengerjaannya. Saya sempat nyeletuk ke mas ojol , "Itu lagi pembangunan underpass ya,mas?"Â
Karena saya sering lihat bambu dipakai buat pelengkap dalam pembanguna pas di kampung dulu ya. Jadi mohon dimaklumi ke-kepo-an saya.
Mas ojol pun menjawab, "Underpass opo, Mba?"
"Itu lho, mas, buat menyebrang lewat bawah tanah."
"O, Iya,mba, itu lagi dibangun. Keren ya idenya pak Anies?"
Apalagi kalau malem fasilitas Pedestrian Light Control Crossing (Pelican Crossing) untuk menyebrang di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Motor Mobil ngebut-ngebut, kayak jalan milik sendiri.
Tapi benar kata pepatah, jangan berharap terlalu tinggi, jatuh itu rasanya lumayan. Lumayan kecele.
Beberapa hari berselang, saya baru tahu bambu bambu itu ternyata disulap menjadi instalasi seni tertancap kokoh di tanah yang katanya paling mahal di Jakarta.
Pertama yang terlintas di benak saya adalah, kekontrasan dengan kondisi Bundaran HI yang modern, gedung-gedung tinggi dan megah yang ada di sekitarnya.