Ayah seperti biasa duduk paling utara sementara kedua kakak ku duduk di samping berhadapan denganku. Masih ada satu kursi yang kosong, di sisiku. Tempat duduk Ibu.
Keluarga kami memiliki kebiasaan yang berbeda dengan keluarga lain. Setiap makan malam maupun sarapan Ibu selalu membuat teh manis tiga gelas. Ya, cuma tiga. Karena aku lebih senang meminum di gelas Ibu, kakak atau bapak. Biasanya aku tidak pernah habis jika dibuatkan teh manis di gelas sendiri mungkin karena saat itu tubuhku masih kecil, usiaku baru 12 tahun. Empat belas tahun lalu.
Dan aku duduk di sini kembali setiap malam menyambut tahun berganti. Malam ini lengkap, kedua kakak ku bisa datang makan malam. Aku termenung mengingat lorong gua tadi. Apa hanya hidup di alam khayalku, apa memang ada di dalam hidupku? Apa perjalanan tadi bentuk perlepasan penyesalan.
Aku tersentah, teh di depanku masih utuh belum aku sentuh, begitu juga lemper penuh sambel, hanya sekilas tadi aku lirih. Menu makan malam ini harusnya terasa lezat. Semua kombinasi kesukaanku sejak kecil.
Sudah hampir delapan tahun Ibu pergi dan seolah seisi rumah ini kosong, ikut pergi. Rumah ini hanya menjadi bentuk kristal waktu dalam kebekuan. Gua tadi sengaja aku bangun lorong-lorongnya agar bisa berjalan pada waktu dan khayal yang sama.
Terkadang kita tak menyadari waktu terus berjalan, hidup terus berlanjut, tanpa sekat, tanpa terhenti semenitpun. Perjuangan tidak pernah mengenal kata akhir atau selesai meski raga terpisah dari jasad. Aku masih merasakan Ibu selalu berjalan beriringan, sering menuntutku kala lelah, jatuh.
*
Lemper: tempat mengulek sambel dari batu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H