Sejak awal Jaker berkomitmen tak bergerak di bidang politik. Namun seiring berjalannya waktu politik tanah air sedang bergejolak. Thukul yang dari awal menjadi alat tarik-ulur masuk ke PRD untuk menarik massa. Akhirnya memilih ikut ke dalam politik praktis. Menyeret Jaker yang ketika itu dipimpinya. Meski kedua sahabatnya yang ikut mendirikan Jaker, Moelyono dan Samsar Siahaan memilih keluar dan memutuskan tak terlibat lagi dalam kegiatan Jaker karena tak setuju Jaker menjadi sayap partai.
Keputusan Thukul masuk politik praktis membuat guru thukul di teater Jagat, kecewa. Menurut sang guru, seniman tak seharusnya terlibat politik praktis karena akan menbahayakan keselamatan. Sementara menurut Thukul, sastra adalah salah satu alat perjuangan. Sedang politik dianggap alat paling cepat mengubah keadaan.
"Thukul, hati-hati memilih kalau sudah di politik praktis ada kemungkinan kamu ditangkap, dibunuh, dibuang dan dikejar-kejar," pesan Lawu, Sang Guru.
Thukul telah memilih dan siap dengan segala risikonya. Dia menjadi penggerak demonstrasi besar Kedungomba, Sritex. Berada di barisan paling depan, aparat secara membabi buta menyerbu para demonstran. Thukul dipukuli, disiksa hingga tuli dan nyaris buta, meninggalkan cacat di mata kanannya. Semenjak itu, Thukul diincar karena diduga sebagai dalang demonstrasi, puisi-puisinya dicurigai sebagai penggerak rakyat kecil melakukan protes.
Puncaknya, setelah kerusuhan 27 Juli 1996, para pemimpin PRD, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah di kejar-kejar polisi dan tentara. Dituduh menjadi datang kerusuhan sosial setelah penyerbuan kantor DPP PDI. PRD di cap kiri/komunis dan dikutuk pemerintahan Orde baru.
Siang itu pada pertengahan Agustus 1996, Thukul yang merupakan koordinator Jaker yang menjadi organ PRD, dijemput di rumahnya di Solo. Thukul keluar dari rumah memakai helm, menyamar dan kabur. Semenjak itu Thukul hidup dari tempat persembunyian satu ke tempat persembunyian lain hingga sampai sekarang tak ada kabar, tak pernah pulang.
Dalam persembunyianya Thukul sempat menulis sajak untuk anak-anaknya, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah.
Kalau teman-temanmu tanya / kenapa bapakmu dicari-cari polisi / jawab saja/ karana bapakku orang berani
Thukul pernah bersembunyi di Kalimantan. Untuk lebih meyakinkan membuat KTP dengan nama Paulus, warga desa Ambawang, Pontianak. Persembunyian selama delapan bulan dan hidup bersama orang asing ini yang menjadi fokus di film 'Istirahatlah Kata-kata' karya Sutradara Yosep Anggi Noen. Dibintangi oleh aktor teater juga seorang penyair Gunawan Maryanto berperan sebagai Wiji Thukul. Sementara Sipon, istri Thukul diperankan oleh aktris sekaligus presenter dan wartawan Marissa Anita.
Film 'Istirahatlah Kata-kata' telah hadir di berbagai festival dunia seperti Locarno, Vladivostok, Hamburg, Manila, Busan, dan terakhir Nantes. Akhirnya mendapat layar di negeri sendiri. Pada pada 19 Januari 2017 mendatang di berbagai bioskop Indonesia.
Berharap Bapak Presiden Jokowi tergerak untuk menonton. Meski film ini bukan bergenre drama komedi seperti film Cek Toko Sebelah yang kemarin Jokowi tonton. Namun, setidaknya film ini bisa mengingatkan janji kampanyenya dulu dalam penyeselaian masalah hak asasi manusia.