Kemarin saya menulis Sosok Soe Hok-Gie tentang pandangan politiknya, bagaimana dia bersikap tentang paham komunis, peristiwa G30S, dan korban yang dituduh sebagai PKI melalui informasi yang didapat dari film Riri Riza dan Mira Lesmana berjudul Gie yang rilis tahun 2005. Sekarang pertepatan dengan tanggal lahirnya saya ingin mengenang sosok Soe Hok-Gie dari buku catatan seorang demonstran. Catatan harian, gejolak-gejolak yang ia rasakan semasa hidupnya.
17 Desember 1942, ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik, tiga tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, lahir seorang anak laki-laki yang nantinya setelah ia pergi pada usia yang sangat muda, yakni 27 tahun kurang sehari. Ia akan tetap dikenang dan hidup lewat catatan harian seorang demonstran: Soe Hok-Gie.
Lewat catatan hariannya'Catatan Seorang Demonstran' yang dibukukan oleh LP3ES pada Mei 1983, empat belas tahun setelah ia wafat di Gunung Mahameru karena menghirup gas beracun, kita mengenal sosok Gie. Di mana sejak usia muda, ia sudah sangat kritis, saat dia merasa benar, ia tak segan berdebat dengan guru tentang karya sastra. Seperti yang dia tulis pada usia yang masih relatif sangat muda 14 tahun, ia berpendapat bahwa guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau. Di usianya saat itu, dia sudah bersikap kritis menilai gurunya yang dia anggap kurang menguasai materi pengajaran.
Begitu juga pada usia yang masih sangat muda, ia terpanggil untuk berjuang demi bangsa yang rakyatnya menjadi begitu miskin, seperti yang ia tulis tentang pengalaman ketika melihat seseorang mengais-gais kulit mangga karena kelaparan. Usia Gie waktu itu masih duduk di bangku SMA.
“Aku besertamu, orang-orang malang.”
Pengalaman tersebut membuat semangatnya bergejolak. Suatu kesadaran baru bangkit. Dan tulisan itu sebagai bentuk proklamasi pertama dalam menyikapi keadaan bangsanya. Sampai akhirnya 6 tahun kemudian dia benar-benar turun ke jalan . Gie menjadi salah satu dari mereka yang menjadi arsitek gerakan-gerakan mahasiswa pada awal tahun 1966.
Masa peralihan setelah penggulingan Soekarno dan masa dimulai sebagai zaman baru, ternyata membut Gie merasa terasing, pada akhirnya dia harus mengakui bahwa daripada revolusi ini juga memperlihatkan kemampuan mereka (generasi muda) sebagai generasi yang pada akhirnya menjadi pencoleng-pencoleng politik. Agen Opsus.
Ia mengkritik keras teman-temannya yang dulu sama-sama berjuang di jalan menggulingkan kekuasaan. Sekarang memilih duduk di anggota dewan dan lupa akan yang diperjuangkan dulu. Ia mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan akan tambah cantik di muka penguasa.
Pada akhirnya, Gie lebih memilih diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas. Tapi kalau keadaan tidak mengubah keadaan. Apa guna kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.
Seperti ketika Gie mencoba menjalin hubungan dengan seorang gadis Orang tua gadis itu sengat menhghargai keberanian dalam tulisan-tulisannya namun ketika anaknya diminta, mereka menolak. Gie menyadari benar resiko yang dia kerjakan, tenyata orang hanya membutuhkan kebaraniannya tanpa mau terlibat dengan dirinya.