Pengantar
Negara Indonesia adalah negara hukum menurut pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Hal ini sesuai menurut Muhammad Yamin, SH sebagaimana dikutip oleh Azhary diartikan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum dimana (rechstaat government of law) tempat keadilan tertulis berlaku, bukan pula Negara kekuasaan (maschstaat) tempat tenaga senjata dan kekuataan badan melakukan kesewenang-wenangan.
Periode perjalanan bangsa Indonesia terdiri dari :
- Periode Pra Sejarah
- Periode Pra Kolonial
- Periode Kolonial
- Periode Kemerdekaan
- Periode Orde Lama
- Periode Orde Baru
- Periode Reformasi
Pada masa pra sejarah, berdasarkan temuan “manusia jawa” yang berusia 1,7 juta tahun yang lalu.
(Perjalanan bangsa Indonesia telah dimulai semenjak kerajaan Majapahit pada abad ke 14. Dimana menurut sumpah palapa dari Gajah Mada, ingin mempersatukan seluruh nusantara Indonesia (tahun 1331 hingga 1364). Pada waktu itu kondisi keagamaan di Indonesia menganut agama Hindu dan Budha (dikenal juga era pra kolonial). Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia pada abad ke 12, namun sebenarnya Islam sudah datang ke Indonesia pada abad 7 Masehi. Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan da'i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama 'Sribuza Islam'. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha. Islam terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 12 November 839 M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayanullah. Kesultanan Islam kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 di Jawa dan Sumatera. Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut. Penyebaran Islam dilakukan melalui hubungan perdagangan di luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar dakwah atau mubaligh merupakan utusan dari pemerintahan Islam yang datang dari luar Indonesia, maka untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para mubaligh ini bekerja melalui cara berdagang, para mubaligh inipun menyebarkan Islam kepada para pedagang dari penduduk asli, hingga para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut. Kerajaan Islam penting termasuk di antaranya: Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Banten yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Mataram, Kerajaan Iha, Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku. Lihat di : http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia)
Kemudian pada tahun 1511, Portugis mendarat di Indonesia. Sehingga dijelaskan bahwa bangsa Eropa yang menemukan Maluku pada tahun 1512 adalah Portugis. Pada tahun 1602 Belanda juga menguasai Indonesia. Belanda menguasai Indonesia hampir selama 350 tahun. Dilanjutkan dengan Jepang selama 3,5 tahun. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya. Bangsa Indonesia setelah kemerdekaan telah mempunyai dasar Negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. Landasan negara tersebut menjadi pegangan bagi arah perjalanan bangsa Indonesia.
A. Sejarah perjalanan Agama di Indonesia
Dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia adalah Negara yang beragama, bukan Negara yang tidak beragama (atheis). Dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia hanya memberikan jaminan kepada pemeluk agama untuk beribadah menurut agamanya masing-masing, namun tidak dijelaskan agama apa saja yang diakui di Indonesia.
Kemudian dalam pasal 1 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, sesuai dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3 pada tanggal 27 Januari 1965 dijelaskan bahwa agama yang dipeluk penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong cu (confusius). Hal ini dibuktikan berdasarkan perkembangan agama di Indonesia. Dan 6 agama tersebut hampir dipeluk oleh seluruh penduduk Indonesia. Keenam agama tersebut juga mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan. Bagaimana dengan agama selain agama yang 6 tersebut ?
Dalam penjelasan pasal tersebut juga dijelaskan bahwa agama lain, misalnya : Yahudi, Zarasustrian, Shinto dan Taoism boleh berada di Indonesia. Agama lain tersebut mendapat jaminan menurut pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dan dibiarkan tetap ada. Kemudian dijelaskan juga bagi badan/aliran kebatinan, pemerintah menyalurkan kearah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960 lampiran A bidang I angka 6.
Oleh karena itu, pasal 29 UUD 1945 hanya menjelaskan 2 pengertian yaitu :
- Bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang beragama
- UUD 1945 memberikan jaminan kepada pemeluk agama yang ada di Indonesia untuk beribadah.
- Tidak ada pengaturan jenis agama yang mesti berada di Negara Indonesia, semua agama apa pun boleh berada di Indonesia, asal tidak ATHEIS.
Kemudian dalam peraturan Nomor 1/PNPS/1965 dijelaskan bahwa hanya 6 agama yang mendapat jaminan yaitu (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hucu), namun agama lain tidak dilarang di Indonesia.
B. Sejarah Konghucu mendapat pengakuan sebagai agama dari Negara Indonesia
Pada tahun 1965, sesuai dengan peraturan Nomor 1/PNPS/1965, Kong Hucu diakui sebagai agama yang mendapat jaminan di Indonesia. Kemudian pada tahun 1978 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1470 dan dilanjutkan dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 477/740554/B.A.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 yang intinya menyatakan 5 agama yang diakui pemerintah adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Dalam SE Menteri Dalam Negeri tersebut, Khong Hucu tidak dimasukkan sebagai agama. Padahal dalam peraturan Nomor 1/PNPS/1965 dijelaskan Khong hucu diakui sebagai agama. Akibatnya pernikahan umat Khong Hucu tidak dapat dicatat di Kantor Catatan Sipil. Penganut agama Kong Hucu sebelum reformasi tidak bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan agama Kong Hucu. Mereka boleh meminta KTP asalkan agama yang tertulis dalam kolom agamanya bukan agama Kong Hucu, biasanya mereka memilih agama Budha atau Kristen dalam KTP. Peraturan lain yang mendeskriminasikan etnis Tionghoa adalah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 77/2535/POUD tanggal 25 Juli 1990, Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur No. 638/95 pada tanggal 28 Novemer 1995 yang pada intinya menyatakan bahwa agama yang diakui di Indonesia adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha.
Setelah rezim orde baru berakhir, kebebasan beragama di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat berarti. Presiden Indonesia pada waktu itu K.H. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam diktum menimbang, disebutkan bahwa selama ini pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina dirasa oleh Warga Negara Indonesia keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, Adat Istiadatnya. Selain itu disebutkan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Dengan adanya Keppres ini, Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaa, dan Adat Istiadat Cina dicabut dan penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung sebelumnya. Keputusan Tersebut berlaku sejak 17 Januari 2000.
Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan kebebasan beragama maupun kebebasan untuk berekspresi. Perkembangan budaya juga berkembang pesat setelah keluarnya Keppres pencabutan Instruksi Presiden yang diskriminatif tersebut. Agama Konghuchu sekarang ini bebas untuk dianut oleh Warga Negara Indonesia. Banyak kebijakan pemerintah pasca reformasi yang mengakomodasi kepentingan umat Khonghucu dan etnis Tionghoa. Pada tahun 2001, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur fakultatif bagi etnis tionghoa. Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh pengganti Gus Dur Presiden Megawati dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek pada 9 April 2002.
Di Indonesia, umat Khonghucu berada di bawah naungan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN). Selama masa orde baru, organisasi ini mengalami kondisi yang tidak jelas. Pemerintah tidak pernah membubarkan MATAKIN yang sudah berdiri sejak tahun 1954. Pada era reformasi MATAKIN diberi kesempatan oleh Menteri Agama kabinet reformasi untuk mengadakan Musyawarah Nasional XIII yang bertempat di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta pada tanggal 22-23 Agustus 1998 yang dihadiri perwakilan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Kebaktian Agama Khonghucu Indonesia (KAKIN) dan Wadah Umat Agama Khonghucu lainnya dari berbagai penjuru tanah air Indonesia. Hampir 20 tahun umat Khonghucu di Indonesia harus hidup dalam tekanan dan pengekangan sebagai akibat tindakan represif dan diskriminatif terhadap umat Khonghucu. Hal ini membawa dampak negatif bagi perkembangan kelembagaan umat Khonghucu.( http://www.matakin-indonesia.org/index_indo.htm)
Bentuk pengakuan agama Khonghucu yang lain pasca reformasi adalah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP ini salah satuisinya mengamanatkan mata pelajaran agama Konghuchu dapat diselenggarakan di jalur pendidikan formal. Sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya pada masa Presiden Soekarno pendidikan Agama Konghucu pernah diterapkan. Hanya saja, pada masa Presiden Soeharto menjabat, agama Konghucu kemudian seakan-akan menghilang karena tidak diakui oleh pemerintah. Adanya Peraturan Pemerintah ini semakin membuka lebar pengakuan negara Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia. Hak Asasi yang dijamin dalam PP ini adalah hak untuk mendapatkan pendidikan bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Konghuchu. (http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20080205144637)
Upaya penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa juga tertuang dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai kependudukan. Yang pertama adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Dalam Pasal 2 dan penjelasan undang-Undang ini didefinisikan bahwa orang Tionghoa adalah orang Indonesia Asli. Peraturan lain yang menjamin hak-hak kependudukan bagi etnis Tionghoa adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Pendudukan. Dalam Pasal 106 Undang-Undang tersebut, terdapat usaha untuk mencabut sejumlah peraturan pencatatan sipil zaman kolonial belanda. Dan dicatatnya perkawinan agama Konghucu di Kantor Catatan Sipil. Sebelumnya Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat pernikahan agama Konghucu.(http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com)
C. Keberadaan Peraturan Nomor I/PNPS/1965 pada saat reformasi
Setelah berjalan selama 45 tahun, kemudian Peraturan Nomor I/PNPS/1965 diajukan Judicial Review oleh IMPARSIAL, ELSAM, PBHI, DEMOS, Perkumpulan Masyarakat Setara, Desantara Foundotion, YLBHI, KH. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, Prof. Manan Imanul Hak, tentang pasal 1, pasal 2 ayat 1 dan ayat 2, pasal 3 dan pasal 4UU Nomor 1/PNPS/1965 dengan Nomor perkara : 140/PUU-VII/2009. Dalam putusannya MK menyatakan menolak permohonan Pemohon dan menyatakan bahwa tidak ada kewenangan MK untuk mengubah redaksi dari Peraturan Nomor I/PNPS/1965, dan merupakan kewajiban bagi pembuat UU.
Untuk mengawasi keberadaan agama di Indonesia dibentuklah Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (BAKOR PAKEM) dan merupakan lembaga koordinasi di bawah Kejaksaan Agung dengan perwakilan di setiap provinsi dan Kabupaten di tiap kantor Kejaksaan Daerah. Menurut UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, BAKOR PAKEM diberi mandate untuk mengawasi penyalahgunaan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara. Bakor PAKEM biasa bekerja di bawah seksi intelijen dan kantor kejaksaan dan berhubungan dekat dengan Departemen Agama, Polisi, TNI, pemerintah daerah dan lembaga keagamaan.
Baru- baru ini di Sampang, Jawa Timur juga terjadi konflik antara Syiah dan Sunni karena masalah keluarga. Hal itu menurut Presiden SBY, disebabkan karena lemahnya fungsi intelijen di daerah.
Kemudian di Sampang juga, pria bernama Tajul Muluk (46 tahun) di vonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sampang, karena melecehkan agama Islam dengan menyatakan al Quran yang beredar tidak asli. Hal ini sesuai dengan pasal 156 a KUHP yang tercantum dalam pasal 4 Peraturan Nomor I/PNPS/1965. Tentunya saat ini keberadaan Peraturan Nomor I/PNPS/1965 masih tetap berlaku, karena sesuai dengan pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 (perubahan) yang menyatakan “ Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H