Mohon tunggu...
Lanka Asmar
Lanka Asmar Mohon Tunggu... -

Aktifitas sebagai Hakim dan Penulis Buku "Peranan Orang Tua Dalam Proses Persidangan Tindak Pidana Perjudian Yang Dilakukan Oleh Anak"

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Zakat Profesi dan Perbedaan UU Nomor 38 tahun 1999 dan UU Nomor 23 Tahun 2011

31 Agustus 2012   04:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:06 6803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A.Pengertian

Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun ketiga dari rukun Islam, sehingga keberadaannya dianggap sebagai (ma’luum minad-diin bidh-dharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari Islaman seseorang).

Dalam pasal1 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dijelaskan :

Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam[1]

Di dalam al Qur’an terdapat 27 ayat yang menyejajarkan kewajiban shalat berfungsinya zakat sebagai instrument pemerataan dan belum terkumpulnya zakat secara optimal di lembaga pengumpul zakat, karena pengetahuan masyarakat terhadap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya masih terbatas.

Berdasarkan hasil survey PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) mengatakan potensi dana zakat di Indonesia yang populasinya sekitar 87 persen muslim, sangat besar hingga mencapai 9,09 triliun rupiah pada tahun 2007. Potensi ini meningkat 4,67 triliun dibandingkan tahun 2004 yang potensinya hanya sebesar 4,45 triliun. Berbeda dengan PIRAC, Alfathmengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp. 20 Triliun per tahun. Namun dari jumlah itu, yang tergali baru Rp. 500 milyar per tahun (berdasarkan asumsi tahun 2006)[2]

Zakat mengandung beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan berkah. Digunakan kata “zaka” dengan arti membersihkanitu, untuk ibadah pokok rukun Islam dan hikmahnya untuk mebersihkan jiwa dan harta orang yang berzakat. Dalam terminologi hukum (Syara’) zakat diartikan “ pemberian tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang ditentukan”[3]

Hukum zakat adalah wajib ‘aini dalam arti kewajiban yang ditetapkan untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan kepada orang lain, walaupun dalam pelaksanaannya dapat diwakilkankepada orang lain.

Tujuan disyariatkan zakat diantaranya adalah untuk jangan harta itu hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Rukun zakat yaitu orang yang berzakat, harta yang dizakatkan dan orang yang menerima zakat. Syarat harta yang dizakatkan adalah harta yang baik, milik yang sempurna dari yang berzakat, berjumlah satu nisab atau lebih dan telah tersimpan selama satu tahun qamariyah atau haul.

B.Zakat Profesi

Yusuf al Qaradawi menyatakan bahwa diantara hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatan yang diusahakanmelalui keahliannya, baikkeahlian yang dilakukannya secara sendiri, maupun secara bersama-sama. Yang dilakukan secara sendiri misalnya : dokter, bidan, guru, penjahit, mubaligh dan lain sebagainya. Yang dilakukan secara bersama-sama misalnya pegawai pemerintah maupun swasta, pejabat Negara dan hakim.[4]

Wahbah al Zuhaili mengemukakan pendapatan yang diterima seseorang dalam waktu relatif tetap, seperti sebulan sekali dalam fikih dikenal dengan nama (al maal al mustafaad).

Landasan hokum kewajiban zakat profesi adalah firman Allah dalam surat at Taubah ayat 103, al Baqarah 267 dan firman Allah dalam surat Adz dzaariyat ayat 19 :

Artinya : “ Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian

Semua penghasilan melalui kegiatan professional tersebut apabila telah capai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Pada saat Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30 April 1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah capai nisab, meskipun pesertanya berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya.[5]

Dalam Bab IV Pengumpulan Zakat pada pasal 11 ayat 2 huruf (f) UU nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dijelaskan bahwa harta yang dikenai zakat adalah (hasil pendapatan dan jasa).[6]

Kemudian pada tahun 2011,DPR beserta pemerintah merevisi UU Nomor 38 Tahun 1999 dan mengeluarkan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Pada pasal 4 ayat 2 huruf (h) UU Nomor 23 Tahun 2011 dijelaskan “Zakat Mal meliputi (pendapatan dan jasa)”.[7]

Dalam menentukan nisab, kadar dan waktu mengeluarkan zakat profesi dalam hal ini ada 2 pendapat :[8]

1.Jika zakat profesi dianologikan kepada zakat perdagangan, maka nisab, kadar dan waktu mengeluarkan sama dengan zakat emas dan perak. Nisabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 persen dan waktu mengeluarkan setahun sekali, setelah dikeluarkan kebutuhan pokok.

Contoh : Jika si A berpenghasilan Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) setiap bulan dan kebutuhan pokoknya perbulan sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah), maka besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 % x 12 x Rp. 2.000.000 =Rp. 600.000 (enam ratus ribu ) per tahun atau Rp. 50.000 (lima puluh ribu) per bulan.

2.Jika dianalogikan kepada zakat pertanian, maka nisabnya senilai 5 ausaq atau 653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5 % dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji atau penghasilan, misalnya sebulan sekali. Dalam contoh kasus : Jika si A berpenghasilan Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) setiap bulan dan kebutuhan pokoknya perbulan sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah), maka kewajiban zakat si A adalah sebesar 5 % x 12 x Rp. 2.000.000 =

Rp. 1.200.000 (satu juta dua ratus ribu rupiah) per tahun atau Rp. 100.000 (seratus ribu perbulan). Kalau dianalogikan kepada zakat pertanian, maka bagi zakat profesi tidak ada ketentuan haul, ketentuan waktu menyalurkan adalah pada saat menerima, misalnya tiap bulan. Karena itu profesi yang menghasilkan pendapatan setiap hari (seperti : dokter yang membuka praktek sendiri aau para da’i yang setiap hari berceramah) zakatnya dikeluarkan sebulan sekali. Sama dengan zakat pertanian yang dikeluarkan saat pada panen (sesuai firman Allah Surat al An’aam : 141).

Kedua pendapat di atas menggunakan qiyas yang ilat hukumnya ditetapkan berdasarkan metode syabah. Contoh (qiyas syabah) yang dikemukakan oleh Muhammad al Amidi adalah hamba sahaya yang dianalogikan pada 2 hal yaitu pada manusia (nafsiyyah) menyerupai orang yang merdeka (al hur) dan dianalogikan pada kuda karena dimiliki dan dapat diperjual belikan di pasar.

Pada tahun 2003, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang zakat penghasilan sesuai dengan “Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang zakat penghasilan. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorium, upah, jasa dan lain-lain yang diperoleh dengan cara yang halal, baik rutin seperti pejabat Negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara Yusuf Qardhawi dan Majelis Ulama Indonesia dalam mengartikan penghasilan atau pendapatan. Kalau menurut Yusuf Qardawi penghasilan adalah didasarkan berdasarkan keahlian yang dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama. Sedangkan dalam fatwa MUI tersebut penghasilan diartikan sebagai pendapatan rutin atau tidak rutin. Namun pemakalah lebih memilih mengikuti pendapat berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dalam fatwa MUI juga dijelaskan bahwa semua bentuk penghasilan yang halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nisab satu tahun yaitu senilai emas 85 gram. Adapun kadar zakat penghasilan adalah 2,5 %. Waktu pengeluaran zakat yaitu :

1.Zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima, jika sudah cukup nisab.

2.Jika tidak mencapai nisab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun, kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nisab.

Berdasarkan uraian diatas, penulis berpendapat bahwa setiap keahlian dan pekerjaan apapun yang halal, apabila telah mencapai nisab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini didasarkan :

1.Ayat al a Quran yang bersifat umum yang mewajibkan semua harta untuk dikeluarkan zakatnya.

2.Berbagai pendapat ulama terdahulu maupun sekarang, meskipun dengan menggunakan istilah berbeda. Sebagian menggunakan istilah bersifat umum yaitu (al amwaal), sementara sebagian lagi secara khusus memberikan istilah dengan istilah (al maal al mustafaad) seperti terdapat dalam fikih zakat dan al fiqh al Islamy wa ‘adillatuhu.

3.Dari sudut keadilan yang merupakan cirri utama ajaran Islam, penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimilikiakan terasa sangat jelas, dibandingkan denganhanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yang konvensional. Petani yang saat ini kondisinya secara umum kurang beruntung, tetap harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapai nisab. Karena itu sangat adil pula, apabila zakat ini pun bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan para dokter, para dosen dan profesi lainnya.

4.Sejalan dengan kehidupan umat manusia, khususnya dalam bidang ekonomi, kegiatan melalui keahlian dan profesi akan semakin berkembang dari waktu ke waktu. Penetapan kewajiban zakat kepadanya, menunjukkan betapa hukum Islam sangat aspiratif dan responsif terhadap pekembangan zaman.

Pada kesempatan ini penulis juga akan menyampaikan perbedaan cukup mendasar antara UU Nomor 38 Tahun 1999 dan UU Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat :

1.Pada pasal 6 ayat 1 UU Nomor 38 tahun 1999 dijelaskan bahwaPengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah. Kemudian dalam pasal 6 ayat 2 huruf( c ) dijelaskan bahwa di daerah dapat dibentuk Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten (BAZDA). Namun, dalam pasal 15 ayat 3 UU Nomor 23 Tahun 2011 tidak dikenal lagi dengan BAZDA, namun disebutkan adalah BAZNAS Kabupaten. Jadi ada perubahan penyebutan, artinya mesti ada perubahan nama dari BAZDA Kabupaten menjadi BAZNAS Kabupaten.

2.Mengenai masalah pembentukan juga terdapat perbedaan. Dalam pasal 6 ayat 1 UU Nomor 38 Tahun 1999 dijelaskan bahwa pembentukan BAZDA Kabupaten adalah oleh Bupati atau Walikota atas usul Departemen Agama Kabupaten atau Kota. Namun dalam pasal 15 ayat 3 UU Nomor 23 Tahun 2011 dijelaskan bahwa BAZNAS Kabupaten dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul Bupati/Walikota setelah mendapat pertimbangan ke BAZNAS. Artinya UU Nomor 23 Tahun 2011menjelaskan bahwa pembentukan BAZNAS Kabupaten dan Kota mesti dibentuk oleh Menteri atas usul Bupati dan Walikota. Kalau dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 dijelaskan bahwa BAZDA Kabupaten dan Kota dibentuk oleh Bupati dan Walikota. Artinya pengelolaan zakat ada peningkatan dalam UU Nomor 23 Tahun 2011, karena mesti dibentuk oleh Menteri.

3.Dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tidak dikenal lagi Badan Amil Zakat (BAZ) Kecamatan, padahal dalam pasal 6 ayat 2 huruf ( c ) UU Nomor 38 Tahun 1999 dikenal Badan Amil Zakat Kecamatan.

Kemudin jika terjadi sengketa masalah zakat, maka menurut pasal 49 huruf ( f) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama,maka mesti diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan Agama.

[1] Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 115, Sekretariat Negara, Jakarta, 2011

[2] Lihat di http://www.elzawa-uinmaliki.org/zakat-profesi-menurut-fatwa-ulama-kontemporer/, terakhir diakses 30 Agustus 2012 jam 15.00 WIB.

[3] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta : Prenada Media : 2003, hal : 37

[4] Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc, Zakat dalam Perekonomian Moderen, Jakarta : Gema Insani : 2002, hal 93

[5] Ibid, hal. 95

[6] Republik Indonesia, UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164, Sekretariat Negara : Jakarta : 1999

[7] Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 115, Sekretariat Negara, Jakarta, 2011

[8] Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc, Zakat dalam Perekonomian Moderen, Jakarta : Gema Insani : 2002, hal 96-97

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun