Mohon tunggu...
Art Studio 16
Art Studio 16 Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja Seni dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Solo Art Exhibition Lanjar Jiwo “Pameran Diponegoro”

26 Januari 2014   13:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:27 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390717836517600146

oleh : A. Barata Tembi Rumah Budaya Ada beragam persoalan sosial yang diangkat perupa sebagai ekspresi kegelisahan dan keprihatinannya. Masalah yang diangkat biasanya perilaku buruk elite politik (korupsi, kekerasan, dll), kemiskinan, atau kerusakan lingkungan. Karya Lanjar Jiwo pada pameran ini agak berbeda, meski pada akhirnya terkait dengan persoalan-persoalan di atas, Lanjar memilih persoalan dominasi asing, yang biasa diistilahkan dengan (neo)imperialisme. Isu yang sering dikaitkan dengan peranan sistemik WTO, IMF, World Bank, dan AS. Implisit, jika tidak salah tangkap, Lanjar menempatkan mereka sebagai ancaman, dan menuding mereka sebagai salah satu biang kerok keterpurukan negeri ini. Karenanya karya Lanjar ini lebih kental abstraksinya atas realita saat ini. Pada kenyataannya, WTO memang lebih merupakan alat negara maju yang membela kepentingan mereka dan merugikan negara-negara Dunia Ketiga. Protes terhadap pertemuan WTO di Bali Desember yang lalu, misalnya, sangat beralasan. Begitu pula IMF yang berperan pada jaman Orde Baru, terutama pasca krisis moneter, dengan resepnya yang kian mengikis kedaulatan bangsa ini, terutama dalam keberdayaan ekonomi. Tak ketinggalan World Bank dengan proyek utangnya yang kian membebani baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan AS diduga memainkan peran utama di balik semua lembaga ini, selain dengan Washington Consensus-nya. Dalam beberapa karyanya Lanjar menempatkan secara bipolar tidak berimbangnya kekuatan nasional dan kekuatan asing. Dollar AS menjadi ikon karya Lanjar yang muncul dimana-dimana, termasuk supremasi dollar AS yang menghajar rupiah hingga terkulai. Kritik Lanjar meski lugas tapi tidak disampaikan dengan berteriak, heroik dan dramatik. Cukup dengan close up badut-badut, yang tertawa, cengengesan maupun “melet”. Mengejek tanpa kekerasan. Ekspresi dan simbol yang memang lebih kena jika melihat karakter neoimperialisme yang lebih “halus” ketimbang imperialisme jaman dulu. Badut domestik pun ditampilkan --boneka yang membisu, bergelimang dollar-- yang agaknya merupakan para komprador. Secara konseptual Lanjar menunjukkan realita tentang kekalahan bangsa ini Terkait dengan Diponegoro, saya kira adalah kerinduan Lanjar pada semangat juang untuk mempertahankan kedaulatan dan kepemilikan atas penjarahan dan penjajahan asing. Perang Diponegoro yang dimulai dari kawasan kecil Tegalrejo lantas meluas dan berkepanjangan serta memperoleh dukungan yang terus membengkak menjadi Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun. Bagaimana jika Diponegoro tidak ditahan oleh Belanda secara licik pada perundingan Maret 1930? Mungkin pada akhirnya Diponegoro tetap kalah. Tapi setidaknya kita berhak optimis. Diponegoro bukan raja dan tidak didukung raja tapi berhasil membangun kekuatan rakyat. Atau di belahan dunia lain, kita bisa melihat contoh keberhasilan Presiden Venezuela Hugo Chavez dalam upaya membangun kekuatan ekonomi domestik yang lebih mandiri, termasuk kebijakan migasnya. Selanjutnya, kembali ke karya seni rupa Lanjar Jiwo, bisa dikutip pesan Amrus Natalsya kepada Semsar Siahaan, “Segi artistik akan terproses sambil jalan. Di Bumi Tarung dulu, dari segi artistik juga berproses secara kreatif yang memakan waktu berjangka panjang. Dalam menerapkan garis “Dua Tinggi” (tinggi mutu tinggi ideologi dan tinggi mutu artistik) menemui kesulitan yang tidak gampang diatasi. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah terus menerus melakukan pencarian (eksplorasi) lewat proses kreatif itu sendiri…” Patut dipuji pilihan Lanjar di luar mainstream jagad seni rupa. Jujur pada rasa dan pikirannya. Pada perkembangannya, mungkin Lanjar antara lain dapat memperluas elemen-elemen pada tema yang diangkat sehingga lebih komprehensif. Begitu pula memperkaya tampilannya untuk meminimalisir kemonotonan. Salam apresiasi bagi Lanjar Jiwo, selamat berpameran!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun