Mohon tunggu...
Lani Pujiastuti
Lani Pujiastuti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi. Tertarik belajar hal baru, pengalaman baru, dan lingkungan baru. Suka dunia penulisan. Selamat berteman dan berbagi :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Perkembangan Kebebasan Pers, Independensi, Netralitas dan Keberpihakan di Masa Pemilu

28 April 2014   19:34 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:06 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Edisi Liputan Forum Diskusi Nasional  Journalist Day 2014 BOE Economica FE UI

di Gedung Dewan Pers pada Kamis, 23 April 2014



Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian Journalist Day (JD) 2014 yang digelar oleh Badan Otonom Pers Economica (BOE) Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. FDN diikuti oleh sembilan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari berbagai universitas yang menjadi finalis lomba essay JD 2014, salah satunya  LPM Agrica Faperta UNSOED.

Diskusi dilaksanakan di ruang pertemuan Dewan Pers lantai 7. Pemateri diskusi kelompok yaitu pengurus Dewan Pers bagian wartawan, Nezar Patria. Pemateri pernah menjadi redaktur pelaksana VIVA.co.id (2014), mantan Ketua Umum Alainsi Jurnalis Independen (AJI) (2008-2011) dan wartawan majalah TEMPO selama sembilan tahun hingga tahun 2008.

Nezar Patria memulai diskusi dengan memberi penjelasan singkat tentang Dewan Pers. Fungsi Dewan Pers yaitu sebagai lembaga yang memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Dewan Pers didirikan pada 1968 dan dikelola oleh sembilan orang pengurus diantaranya mencakup elemen masyarakat, industri dan organisasi.

Sejarah Kebebasan Pers

Pemateri kemudian menyampaikan pengantar topik dengan sejarah kebebasan pers dari cengkeraman penguasa maupun partai politik era reformasi hingga pasca reformasi.  Nezar menjelaskan di era reformasi, penguasa mengendalikan kekebasan pers. Media dibuat takut memberitakan politik dan keburukan penguasa dengan ancaman pembredelan atau pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).


Satu-satunya ruang untuk mengkritik pemerintah saat itu adalah kampus melalui gerakan pers mahasiswa.

Saat itulah lahir gerakan pers mahasiswa dengan pikiran yang kritis menjadi wadah kebebasan mimbar. Tulisan pers mahasiswa kala itu sangat keras mengkritik pemerintah. Pers mahasiswa membuat jaringan se-Jawa dan Bali untuk mengangkat isu yang tidak diberitakan media mainstream di tiap daerah. Gerakan pers mahasiswa ini turut mendorong gerakan mahasiswa yang akhirnya melahirkan reformasi.

Reformasi menandakan adanya kekebasan pers dengan munculnya Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Hasilnya yaitu merombak satu hal yaitu menjamin hak penerbitan untuk berekspresi dengan dibebaskannya SIUPP.


Pasca itu, lahir musim semi media yang ditandai naiknya jumlah media cetak hingga enam kali lipat selama tahun 2000-2002. Enam TV swasta bermunculan diantaranya TPI, RCTI, SCTV, dan lainnya. Radio selain RRI pun kemudian dapat melakukan liputan dan mencari berita sendiri.

Setelah itu, memasuki musim gugur media pada tahun 2004. Media cetak yang termasuk standar perusahaan Dewan Pers tersisa sekitar 400 media cetak.


Terjadi seleksi alam media cetak. Hanya media bermodal besar, distribusi luas dan jaringan kuat yang mampu bertahan seperti Kompas dan Tempo. Sisanya merupakan media ‘abal-abal’ yang memanfaatkan kekebasan pers untuk melakukan tindakan yang mengarah pada penyimpangan seperti pemerasan kepada narasumber.

Industrialisasi Media


Media saat ini digerakkan oleh hukum pasar.

Kualitas media dan rambu-rambu menjadi kurang diperhatikan untuk bersaing mendapatkan pembaca, penonton dan pendengar. Media televisi menggunakan sumberdaya frekuensi yang terbatas antara 88-105Mhz maka perlu peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengawasi tayangan televisi.


Media berfungsi untuk mengakomodasi kepentingan publik, bukan sebaliknya.

Survey A.C.Nelson mengungkapkan populasi konsumsi informasi sebesar 93 persen melalui televisi. Internet 34 persen,dan koran 27 persen. Konsumsi informasi melalui media cetak menunjukkan penurunan signifikan sejak 10 tahun terakhir akibat munculnya internet yang menyediakan informasi secara digital.


Konsumsi informasi digital terus meningkat.

Indonesia merupakan pasar luar biasa untuk berita internet. Pengguna internet tumbuh 30 persen setiap tahunnya. Berdasarkan data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2013, terdapat 80 juta pengguna internet yang didominasi oleh usia muda rentang 18-27 tahun sebesar 60 persen. Pertumbuhan media secara online memfasilitasi penggguna internet usia muda yang bersifat dinamis. Di media sosial Facebook, pengguna di Indonesia mencapai 53 juta pengguna. Cara mengkonsumsi informasi menjadi berubah.

Independensi dan Netralitas Media


Jurnalisme menjadi berada di persimpangan jalan.

Kini warga dapat menjadi produsen berita dengan mengambil gambar suatu peristiwa, kemudian melakukan wawancara dan menyuntingnya. Ketika warga tersebut menjadi saksi satu-satunya, berita tersebut akan mendunia. Hal tersebut disebut jurnalisme warga. Jurnalisme yang profesional tiba-tiba agak guncang.


Pada saat seperti itu, independensi dan netralitas media berada pada satu titik baru.

Seperti keluar dari mulut buaya lalu masuk ke mulut singa. Pers setelah keluar dari cengkeraman rezim penguasa kini masuk ke dalam industri media yang dikuasai pasar. Tetapi jurnalisme tetap jurnalisme karena ada hukum yang harus dipatuhi.


Di sosial media pun ada hukum sosial yang berlaku seperti ketika menuliskan status twitter ataupun facebook, para followers ingin informasi yang berkualitas.

Pemilik akun yang menjadi produsen berita dituntut bekerrja dengan standar tertentu khususnya menulis berdasarkan fakta yang aktual. Terjadi evolusi dari amatir ke professional. Seperti contoh HuffingtonPost di New York, Amerika Serikat. Media tersebut bermula dari sebuah blog milik seorang sosialita yang memiliki link dengan blog lain milik orang-orang penting di negara tersebut. Blog tersebut menuliskan ulasan berbagai topik hangat dengan mengundang ahli politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.Jumlah pengunjungnya terus bertambah dan blog tersebut dituntut pembaca untuk melakukan liputan hingga kini berkembang menjadi Huffington Post.

Apapun bentuk sebuah media, prinsip yang harus dijaga yaitu kepercayaan atau trust untuk memenuhi kredibilitas berdasarkan etik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun