BINTANG KECIL
Oleh : lani
Siang berganti malam mengikuti waktu yang terus berputar searah jarum jam. Kehidupan bagai dua sisi mata uang logam, terkadang gelap dan terkadang terang. Sisi gelap adalah bagian dari penderitaan, sisi terang adalah bagian dari kebahagiaan yang sama-sama semu dan entah kapan berujung. Hanya diriku sendiri yang mampu bertahan dan mengubahnya.
Dalam langkah sepi, sepuluh kali kumemandang langit yang bertabur bintang. Seulas senyum tersungging dibibir ini, mata ini berdecak kagum, indah! Sungguh indah cahaya kemerlip yang bertaburan di atas sana. Jari ini menunjuk satu per satu dan memilih mana itu Orion ataupun Kejora. Seribu kali pun jari ini menunjuk takkan pernah bisa menggapai bintang yang menemani rembulan hampir sepanjang malam.
“Hey Bulan, lagi ngapain?” suara itu menarikku dari lamunan. Aku menoleh dan tersenyum dengan mata yang bergairah.
“Menatap bintang,” jawabku.
Dia Sani. Sahabatku. Sani tersenyum seadanya, dia tidak suka pada bintang, tidak suka dengan malam yang berpura-pura tampak indah, pada kenyataannya malam tetaplah bagian dari gelap dan sepi yang mengerikan.
“Mmm, apa kau ingin seperti bintang?” tanya Sani tanpa canda.
“Yup! Menjadi sesuatu yang bisa dikagumi oleh banyak orang,” jawabku dengan mata tertuju pada bintang.
Angin sepoi meniup rambutku yang terurai serta menyapu lembut wajahku. Sani menatapku serius dengan membuang nafas rasa tak suka. Kemudian menggeleng-gelengkan kepala seperti memaki dalam hati.
“Aih, kau ingin terkenal?” tanya Sani lagi. Aku menoleh ke arahnya, meraih tangannya kemudian berkata, “Tidak! Aku hanya ingin seperti bintang,”
Tidak ada pilihan lagi selain harus tersenyum dan puas dengan jawabanku. Kami bercanda melewati malam, bernostalgia tentang masa kecil. Yang kami bicarakan adalah cita-cita tentang suatu hari nanti.
bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H