Mohon tunggu...
Lani Juliyani
Lani Juliyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penikmat novel dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kawasan Bebas Maksiat

29 Juni 2024   21:00 Diperbarui: 30 Juni 2024   20:57 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lingkungan menjadi indikator terhadap terbentuknya karakter seseorang mulai dari perilaku, sikap, pola pikir dan perkembangannya. Lingkungan yang baik dapat memberikan pengaruh yang baik kepada orang disekitarnya. Sedangkan lingkungan yang buruk, dapat memberikan memberikan pengaruh yang buruk kepada orang-orang disekitarnya. Namun jika sudah berada di lingkungan yang baik dan terjaga, apakah semua pribadi akan berubah menjadi baik? Ini kembali kepada individu itu sendiri.

Saya telah mengamati dan berada di lingkungan pondok pesantren, tentu ini adalah lingkungan sangat terjaga. Namun apakah semua yang berada di pesantren itu shaleh atau shalehah. Terkadang ketika berada di lingkungan yang terjaga, kita merasa lalai dan meremehkan dosa kecil. Merasa sudah melaksanakan ibadah dengan sebanyak-banyaknya sebaik-baiknya bahkan menjadikannya sebuah kebiasaan. Ini suatu pencapain yang bagus namun, terbesit dalam pikirinnya bahwa ia telah terbebas dari dosa atau merasa orang yang paling shaleh dia antara yang lain. Dan ini sudah termasuk kedalam takabbur (sombong).

Jangan merasa sudah terbiasa maka ibadahmu hanya sekadar kebiasaan bukan lagi ibadah. Tak ada lagi ruh dalam ibadah itu. Terbiasa shalat tahajud, terbiasa dzikir, terbiasa baca Al-Quran tapi tidak ada lagi kenikmatan dalam beribadah. Sungguh, ini adalah kelalaian yang sesungguhhnya. Percayalah di mana pun kita berada kita tak luput dari kesalahan dan godaan setan akan selalu menghampiri dari depan, belakang, sisi kiri dan kanan seperti firman Allah Subnallahu Ta’Ala dalam Surat Al-A’raf ayat 17 yang berbunyi :

ثُمَّ  لَاٰ  تِيَنَّهُمْ  مِّنْۢ  بَيْنِ  اَيْدِيْهِمْ  وَمِنْ  خَلْفِهِمْ  وَعَنْ  اَيْمَانِهِمْ  وَعَنْ  شَمَآئِلِهِمْ  ۗ وَلَا  تَجِدُ  اَكْثَرَهُمْ  شٰكِرِ يْنَ

“kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’raf 7: Ayat 17)

Menurut tafsir Ibnu Katsir dari perkataan  Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam ayat tersebut setan akan menggoda dari arah depan yaitu urusan akhirat, dari belakang yaitu urusan duniawi, dari sisi kanan yakni urusan agama, dan sisi kiri yaitu membuat mereka tergiur oleh kemaksiatan. Maka berhati-hatilah dengan tipu muslihat setan karena setan akan membalutnya agar terlihat indah.

Dan hal yang paling sering terjadi di pesantren adalah mereka yang melakukan kemaksiatan atau pelanggaran mereka lebih takut terhadap hukuman yang ada bukan takut terhadap ancaman Allah. Jika tak ada yang melihat mereka berani melakukan pelanggaran dengan dalih toh ustadz atau ustadzah gak tahu. Padahal Allah Maha Melihat Segala Sesuatu. Dan di sini lah kurangnya konsep muraqabah (pengawasan Allah Subnallahu Ta’Ala) yang belum tertanam dalam diri para santri.

Secara istilah, muraqabah merupakan sikap mawas diri dalam rangka menghindarkan diri dari perbuatan dosa. Dalam artian segala tindak dan perilaku kita Allah tahu walau kita tersembunyi di dalam banteng sekali pun. Al-Harits al-Muhasibi mengatakan: “Ada tiga hal yang harus diperhatikan: muraqabah Allah dalam ketaatan kepada-Nya dengan perbuatan, muraqabah Allah dalam kemaksiatan kepada-Nya dengan tidak meninggalkannya, dan muraqabah Allah dalam kegelisahan dan kekhawatiran, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam : “Beribadahlah kepada Allah seakan-akan kalian melihat-Nya, dan jika kalian tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat Anda.” Konsep seperti inilah yang perlu ditanamkan dalam setiap dari kita.

Teringat suatu kasus di sebuah pondok pesantren yang pernah menggemparkan pada masanya. Yaitu, kasus pelecehan seksual terhadap 13 orang santriwati yang dilakukan oleh pemilik pesantren itu sendiri berinisial HW pada tahun 2021 silam. Bukan hanya itu, ada lima kasus kekerasan di pondok pesantren yang telah menelan korban jiwa sebagaimana yang dicatat oleh Agus Raharjo dalam republika.co.id (27/02/2024).

Sungguh miris sekali, bagaimana bisa sebuah lembaga pendidikan islami yang seharusnya menciptakan lingkungan pendidikan menjadi tercemar dengan adanya kasus tersebut. Ini menandakan bahwa lingkungan yang baik tidak menjadi jaminan seseorang menjadi baik. Dan bukan berarti pesantren adalah kawasan bebas maksiat tanpa adanya pendosa di dalamnya.Sekali lagi saya tekankan, bahwa lingkungan adalah faktor eksternal dari terbentuknya perilaku seseorang dan kendali terbesar tentu ada dalam diri kita. 

Serta senantiasa kita berlindung kepada Allah Subnallahu Ta’Ala dari godaan setan sebagaimana dalam hadist nabi shalallahu ‘alaihi wassalam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun