Mohon tunggu...
Teacher Adjat
Teacher Adjat Mohon Tunggu... Guru - Menyukai hal-hal yang baru

Iam a teacher, designer and researcher

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Toxic Parent: Dilema Gadget di Tangan Sang Buah Hati

27 April 2022   13:28 Diperbarui: 27 April 2022   13:35 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

_Sekelumit Kisah Toxic Parent_

Siang itu, rekan saya sesama guru mendapatkan telpon dari salah satu orangtua murid di kelasnya. Dengan lirih sang ibu bercerita tentang anak satu-satunya yang saat ini duduk di kelas 4. Si anak sudah tidak semangat lagi sekolah, terlebih setelah pemerintah memutuskan agar para siswa belajar dari rumah melalui daring. 

Tak hanya semangatnya yang hilang, perangai anaknya pun berubah menjadi emosional dan mudah membangkang. Selidik punya selidik ternyata sang anak kecanduan gadget. Perangkat yang difasilitasi oleh orangtuanya selama keduanya bekerja.

Awalnya rekan saya menginformasikan bahwa putra dari ibu tersebut sudah lama tidak mengikuti pembelajaran online. Jikapun hadir di kelas, si anak tidak membuka kamera dan tidak merespon guru saat dipanggil. Alhasil seluruh nilai pelajarannya juga bermasalah. 

Sebagai wali kelas, tentunya rekan saya berkewajiban untuk mengkonfirmasi kondisi muridnya kepada orangtua di rumah. Dan ternyata benar, murid yang di level sebelumnya dikenal periang dan cerdas kini berubah.

Sesuai prosedur sekolah, rekan saya dan asistennya segera menjadwalkan untuk melakukan home visit ke kediaman murid tersebut. Namun hal yang tak terduga terjadi, murid laki-lakinya itu tidak mau menemui kedua gurunya. Ia tetap berada di kamarnya di lantai atas sementara rekan saya menunggu di ruang tamu bersama asisten dan ibunda si murid. 

Sempat muridnya tersebut keluar sebentar karna dipanggil oleh bundanya namun ketika ia melihat rekan saya, dia kembali ke kamarnya sambil mengucap, "ah ibu...ganggu aja, kayak nggak pernah muda aja.." ucapnya ketus sambil berlalu. 

Sang bunda hanya bisa mengelus dada dan menghela nafas tanpa bisa berbuat banyak. Belakangan ia baru menyadari bahwa keputusannya memberikan fasilitas gadget tanpa kontrol yang ketat telah menjadikan ia sebagai toxic bagi buah hatinya.

_Apa itu toxic parent?_

Toxic secara bahasa artinya adalah racun, sementara parent yaitu orangtua. Dewasa ini penggunaan kata toxic tidak hanya untuk dunia kesehatan atau kedokteran saja. 

Kata toxic ramai digunakan oleh masyarakat untuk menggambarkan sebuah hubungan yang tidak wajar. Oleh karenanya lahirlah istilah-istilah seperti; toxic relationship, toxic friendship dan lain sebagainya. 

Sementara itu Susan Forward dalam bukunya, "Toxic Parent; Overcoming Their Hurtful Legacy and Reclaiming Your Self" menjelaskan bahwa toxic parent ialah orangtua yang tidak menghormati dan memperlakukan anaknya dengan baik secara pribadi, sehingga hubungan antara keduanya menjadi racun bagi salah satu pihak yaitu sang anak.

Masih dalam buku tersebut, diantara ciri-ciri toxic parent yaitu orang tua yang selalu mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan kebutuhan dan keinginan anak. 

Termasuk dalam hal ini adalah orangtua yang terlalu over memberikan kebebasan kepada anak dalam menikmati fasilitas gadget. Dan yang menjadi catatan, hal itu dilakukan oleh orangtua bukan semata-mata karna ia menyayangi anaknya namun lebih karena orangtua tidak ingin diganggu aktivitasnya oleh sang anak. 

Fenomena tersebut banyak penulis jumpai di banyak tempat seperti mall, restoran, kantor dan lain-lain. Biasanya orangtua yang tidak ingin diganggu makannya oleh sang anak, menyerahkan pengasuhan anaknya kepada gadget agar kedua orangtua bisa dengan santai menyantap makanan.

Begitu juga dengan kasus yang terjadi dengan orangtua murid yang saya ceritakan di atas. Karna keduanya bekerja, sang anak yang berada di rumah bersama pembantu difasilitasi secara bebas dengan perangkat laptop dan juga smartphone. 

Awalnya hal tersebut dimaksudkan untuk memudahkan sang anak mengikuti pembelajaran online. Namun, karna lemahnya pengawasan serta kurangnya peran orangtua sehingga fasilitas yang dinikmati oleh sang anak justru membawa mudharat bagi dirinya.

"Banyak orangtua yang secara khusus membelikan anak-anaknya gadget. Nah lucu memang orangtua yang membelikan gadget tetapi orangtua sendiri pusing jika anaknya gemar bermain gadget." tulis Angga Setiawan dalam bukunya "Parenting Detox". 

Banyak sekali orangtua yang kehilangan kendali atas gadget yang ia miliki sehingga dikuasai oleh sang anak. Namun, yang sering terjadi adalah gadget dijadikan "alat suap" oleh orangtua. Misalnya jika anaknya ribut maka dikasih gadget agar diam. (Parenting Detox).

_Bahaya Gadget bagi Buah Hati._

Lalu apakah anak tidak boleh memiliki gadget?

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam risetnya merekomendasikan usia ideal seorang anak bisa diberikan gadget yaitu saat ia berusia minimal 13 tahun. 

Oleh sebab, pada usia tersebut seorang anak sudah bisa bertanggungjawab terhadap apa yang dimilikinya. Hal lain diungkapkan oleh UNICEF melalui hasil investigasinya di tahun 2021 bertajuk "Investigating Risks and Opportunities for Children in a Digital World" yaitu bahwa tingginya intensitas anak bermain gadget selama masa pandemi mempengaruhi kesehatan mental mereka secara simultan.

Sumber; unicef.com
Sumber; unicef.com
Penggunaan gadget atau perangkat digital lainnya oleh anak setiap hari jelas menimbulkan efek negatif yang tidak bisa dianggap remeh oleh para orangtua. Apalagi jika akses anak terhadap perangkat tersebut sangat longgar tanpa pengawasan. 

Selain mempengaruhi kohesivitas (kelekatan) antar anggota keluarga, kecanduan gadget juga dapat mengakibatkan gangguan kesehatan mental antara lain mental illness, depresi, anti sosial, suiciede will, dan masih banyak lagi. Akibatnya anak yang sudah kecanduan gadget memiliki hambatan dalam mengelola emosi mereka.

Mengingat kondisi yang sudah demikian mengkhawatirkan, ditambah lagi proses pendidikan yang mengharuskan anak-anak menggunakan perangkat digital di tiap harinya maka harus ada upaya maksimal dari orangtua agar pemberian fasilitas gadget tidak menjadi "toxic" bagi buah hati mereka. Dan hal yang pertama harus dibangun dalam keluarga yaitu adalah kesadaran akan pentingnya literasi digital. 

Selama ini literasi digital baru sampai pada tataran wacana dan diskusi pada lingkup tertentu. Belum tersosialisasi secara masif di masyarakat umum, padahal gerakan literasi nasional telah pemerintah galakkan sejak tahun 2016. 

Tahun 2017 di bawah kementerian pendidikan dan kebudayaan pun dibentuk tim khusus untuk mensukseskan GLS tersebut hingga ke lingkup terkecip yaitu keluarga. (Baca; Peta Jalan Gerakan Literasi Nasional).

Akibatnya ketika dihadapkan pada kondisi pandemi yang menuntut semua orang beraktivitas secara online sebagian besar masyarakat belum paham bagaimana memanfaatkan teknologi digital secara bijak. Sehingga tidak sedikit masyarakat yang terjebak dalam toxic digital. 

Termasuk diantaranya para toxic parent yang gelagapan menghadapi perkembangan teknologi, akibatnya anak-anaknya pun menjadi korban ketidaktahuan mereka akan sisi negatif dari perangkat digital yang mereka fasilitasi untuk buah hati. 

Sementara itu, keluarga yang aware terhadap literasi digital mengedepankan cara-cara yang dialogis dalam memberikan pemahaman kepada buah hati tentang bagaimana memanfaatkan perangkat digital sebagaimana mestinya.

_Metode Dialogis dan Mediasi Parental_

Menjadi orangtua di era digital seperti saat ini memang bukanlah hal yang mudah. Secara fitrah, seorang anak pasti memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap sesuatu yang baru ia kenal. 

Tak terkecuali yang berkaitan dengan gadget, rasa ingin tahu (curiousity) anak terhadap gadget terkadang membuat mereka terjebak dalam kondisi adiksi jika orangtua memberikan kebebasan yang over terhadap mereka. 

Namun begitu, sebagai generasi yang lahir di era society 5.0 tidak mungkin juga melarang mereka untuk menikmati teknologi digital. Solusinya tentu ada di orangtua selaku penanggungjawab jalannya organisasi terkecil yaitu keluarga.

Diantara upaya mencari win-win solution agar orangtua tidak menjadi toxic bagi buah hatinya dan anak-anak juga tidak terjebak dalam candu digital yaitu dengan cara menerapkan pendekatan dialogis dan mediasi parental kepada buah hati. 

Kita jangan lupa, bahwa putra-putri kita adalah manusia yang Allah berikan akal kepada mereka untuk berfikir. Selama akan mereka sehat maka sepanjang itu pula seharusnya kita sebagai orangtua mendialogkan apapun keputusan kita yang akan berpengaruh terhadap hidup mereka. Termasuk keputusan kita memberikan fasilitas gadget kepada mereka.

_Membangun Dialog Keimanan_

Dialog yang dibangun pun harus berpijak pada nilai-nilai keimanan. Karna kita sebagai orangtua tidak bisa mengawasi mereka (buah hati kita) selama 24 jam, hanya Zat yang tak pernah lelah dan tertidurlah yang mampu melakukan itu, yaitu Allah 'Azza Wajalla. 

Ada 2 hal yang perlu orangtua tanamkan sebelum memberikan tanggungjawab penggunaan gadget kepada buah hati; pertama; tanamkan kepada mereka akan urgensi waktu atau usia bagi hidupnya, bahwasanya waktu ibarat pedang, jika kita tidak bisa menggunakannya dalam kebermanfaatan maka ia akan membinasakan kita. 

Saking pentingnya waktu hingga Allah bersumpah atas namanya di dalam surah Al 'Asr. Kedua; tanamkan kepada buah hati kita perasaan ma'yatullah yaitu bahwasanya Allah selalu mengawasi apapun yang kita lakukan. Allah SWT berfirman dalam surah Al Mujadilah ayat 7 ;

"Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu."

Dengan menanamkan perasaan merasa "diawasi" oleh Allah SWT kepada buah hati diharapkan dapat menumbuhkan sikap tanggung jawab atas nikmat harta berupa fasilitas gadget yang telah Allah berikan kepadanya. 

Jika telah terbangun sikap tersebut maka kemanapun dan kapan pun sang buah hati kita tinggal bersama gadgetnya, kita sebagai orangtua bisa lebih tenang karna ada penjagaan Allah bersamanya.

Dialog-dialog keimanan yang dilakukan oleh orangtua menjadi pondasi awal bagi buah hati sebelum berkenalan dengan gadget. Langkah selanjutnya adalah melakukan metode mediasi parental. 

Teori ini menjelaskan strategi komunikasi interpersonal yang berbeda yang digunakan oleh orangtua untuk mengurangi dan menengahi efek negatif media dalam kehidupan anak-anak mereka. 

Teori ini mengasumsikan pula interaksi interpersonal tentang media antara orangtua dan anak berperan dalam mensosialisasikan anak kepada masyarakat.

Valkenburg dkk. dan Nathanson mengembangkan skala untuk mengukur tiga strategi mediasi yang berbeda dan hasil yang dihasilkan dari praktik-praktik orangtua tersebut meliputi: Active Mediation (mediasi aktif), atau berbicara dengan anak mereka mengenai konten yang mereka lihat di media. 

Restrictive Mediation (mediasi terbatas), atau menetapkan aturan dan peraturan mengenai penggunaan media dan penggunaannya secara bersama-sama

(Valkenburg dkk dalam Clark, 2011:326).

_Penutup_

Perkembangan zaman yang begitu cepat menuntut manusia untuk bisa beradaptasi secara bijak. Pada dasarnya gadget atau perangkat digital hanyalah alat yang dibuat untuk memudahkan kehidupan manusia. Karna dia alat, maka sikapilah ia sebagaimana mestinya. Ia (gadget) tidak akan mungkin menggantikan fungsi pengasuhan yang menjadi tanggung jawab orangtua. Karna hanya kepada orangtua lah sang anak dapat membangun bonding yang hakiki.

Sementara itu, upaya untuk menghilangkan peran gadget dalam dunia putra-putri kita pasti akan berujung pada kegagalan. Karna perangkat digital kini sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Yang perlu dilakukan adalah menanamkan nilai-nilai tanggung jawab melalui dialog-dialog keimanan kepada sang buah hati. 

Setelah itu pada tataran teknis, orangtua juga harus menerapkan metode mediasi parental bersama sang buah hati. Upaya-upaya tersebut semata-mata agar orangtua tidak lagi menjadi toxic bagi buah hatinya dalam urusan pemanfaatan teknologi digital. Wallahu'alam.

Kurniadi Sudrajat

(Guru SD/Anggota Bid. Pendidikan dan Pelatihan RPI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun