Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebiasaan Main Hakim Sendiri, Mungkinkah Dihilangkan?

22 September 2021   03:15 Diperbarui: 22 September 2021   03:37 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kita sering mendengar di suatu desa ada "kesepakatan internal" bagaimana mereka akan "memperlakukan" pencuri yang tertangkap. Minimal bonyok dulu sebelum diserahkan ke polisi. Pokoknya maling dibikin jera dan keder bila hendak beraksi.

Ada juga semacam "kepengecutan sosial", bisa digambarkan dengan ilustrasi situasi berikut. Di suatu bis kota yang penuh penumpang, ada kawanan pencopet beraksi. 

Banyak yang tahu tetapi pura-pura tidak tahu. Tetapi begitu ada satu dua orang yang berani bergerak untuk menghajar si pencopet, tiba-tiba semua orang berebutan ingin ikut kebagian jatah ngepruki.

Kita mungkin pernah menyaksikan kecelakaan di jalan raya. Misalkan, ada seorang sopir mobil menabrak sepeda motor, hingga pengendara sepeda motor jatuh dan terluka. 

Pernahkah mencoba menghitung, berapa banyak yang tergerak untuk menolong si korban, berapa banyak yang bergegas hendak ngepruki si penabrak? Banyakan mana? Itulah salah satu potret dari masyarakat kita.

Dalam hal main hakim sendiri pendapat masyarakat kita mungkin terbelah. Ada yang berpendapat hanya pengadilanlah yang berhak memutuskan hukuman, jadi tidak boleh ada perlakuan yang menjurus main hakim sendiri, apapun bentuk kejahatan yang dituduhkan

Sementara itu ada yang berpendapat untuk kejahatan tertentu, dibenarkan melakukan main hakim sendiri. Yaitu, pada kejahatan seksual terutama dengan korban perempuan dan anak, serta pembunuhan sadis yang menimpa satu keluarga.

Apakah main hakim sendiri adalah budaya di tubuh kepolisian?

Seorang polisi melakukan penganiayaan pada tahanan, mungkin bukan berita yang besar. Baru menjadi berita ketika polisinya ternyata juga sedang berstatus tahanan. Seorang jendral lagi.

Seorang jendral polisi seharusnya dapat menjadi contoh yang baik bagi bawahannya, bagaimana bersikap sebagai warga negara yang taat hukum. Peristiwa ini menimbulkan keprihatinan, kalau jendralnya saja begitu, bagaimana dengan bawahannya?

Orang bilang masyarakat menjadi tergoda untuk melakukan main hakim sendiri, karena kurangnya kepercayaan pada proses hukum dan aparat penegak hukum. Nah, kalau aparat hukumnya juga main hakim sendiri, berarti tidak percaya pada diri mereka sendiri, dong?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun