Pandemi tidak pandang bulu. Banyak pimpinan daerah terpapar. Ada yang bertahan, ada yang akhirnya meninggal. Â
Hingga saat ini, lebih dari sepuluh kepala daerah meninggal karena covid. Ada bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota. Gubernur belum ada. Â Sejumlah sekda meninggal karena covid. Ada juga kepala dinas kesehatan yang meninggal karena covid.
Pandemi merupakan ujian nyata yang menyingkap kualitas yang sesungguhnya dari sang pimpinan derah. Bukan senyum lebar di baliho besar, iklan sehalaman penuh di koran, atau tampilan dipermak kharisma dadakan di layar televisi.
Karakter yang sejati akan tampil. Kebrengsekan yang hakiki juga akan terkuak. Seberapa tingkat leadership mereka akan nampak. Seberapa tangguh sang pimpinan daerah menghadapi badai masalah yang datang bergerombol dengan kecepatan tinggi tanpa memberi kesempatan cukup untuk mencerna.
Akan nampak jelas mereka yang hanya sekedar berkemampuan "business as usual", mereka akan terpelanting keponthal-ponthal, gulung koming. Yang hanya bermodal ketiak dinasti politik juga akan tercium aromanya. Yang menyimpan potensi besar, akan benderang auranya.
Badai pandemi akan mengungkap siapa yang benar-benar manusia tangguh yang tidak lari dari masalah yang menimpa warganya. Siapa yang tidak tercerabut dari akar kepribadiannnya. Mereka yang tidak memiliki semangat pengabdian yang tulus, hanya sekedar mengincar fulus, tak akan lulus. Kreativitas mereka dalam menyelesaikan masalah akan sangat diuji.
Ada yang mengeluh pusing, kurang tidur, bahkan selalu waspada tidak bisa tidur itu hal biasa. Tapi jangan sampai diam-diam ngumpet, sambil berharap para anggota Forkopimda lainnya, bahkan pemerintah pusat yang terpaksa mengambil inisiatif atau bahkan mengambil alih masalah. Berharap mata media dan netizen terlewat, sehingga tak keluar berita atau postingan nyinyir, "Di manakah sang pimpinan daerah?" Saat gunting pita selalu hadir, saat pandemi muka diparkir.
Para pimpinan daerah seharusnya menjadi panglima saat pandemi. Saat ada warga yang terkapar. Saat ada warga yang terlantar. Saat ada warga yang hampir modar. Saat ada harapan yang ambyar.
Tiap hari, tiap jam, mereka harus bersiap dengan berita buruk. Pasien covid meninggal karena rumah sakit penuh, persediaan oksigen menipis, peti mati habis, antrian di pemakaman, warga yang meninggal saat isoman tanpa perhatian pemerintah setempat. Ditambah lagi dengan jeritan warga akibat dampak PPKM, PSBB, lockdown, penyekatan, pembatasan, dan hal semacam.
Yang hanya ndomblong, pah poh, ngah ngoh, cuma mampu gunting pita doang, akan nampak sangat sangat jelas. Yang meraih jabatan dengan motivasi menggemukkan pundi dan melayani kroni, akan berusaha tutup mata dan tutup telinga. Padahal jeritan warga itulah hal yang sangat kritikal dan sangat esensial. Kecuali bila nalar sehat dan hati nurani telah mengalami penyekatan.
Mungkin terlalu banyak yang mesti diberitakan, media pun bingung memilih berita. Banyak nama pimpinan derah yang tiba-tiba hilang dari pemberitaan. Apakah karena bukan mainstream trending rating pendongkrak oplah? Ataukah kondisi daerahnya "biasa" saja, karena di masa pandemi ini nyaris tidak ada yang baik-baik saja. Ataukah sang pimpinan sengaja melakukan "isolasi mandiri", menghindari radar media, untuk menutupi kegagapan dan ketidakbecusan menghadapi banjir persoalan?