Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mencoba Memahami Kejengkelan Penulis pada Pembajakan Buku

25 Mei 2021   15:39 Diperbarui: 26 Mei 2021   16:30 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tumpukan buku. (sumber: Thinkstock/Encrier via kompas.com

Tere Liye adalah salah satu penulis Indonesia yang cukup produktif. Terdapat sejumlah buku Tere Liye yang saya sukai. Saya juga sering merekomendasikan buku-buku tersebut kepada orang lain, termasuk anak-anak.

Serial Anak Mamak yang terdiri dari empat buku: Eliana, Burlian, Pukat, Amelia, bagi saya merupakan masterpiece dari karya Tere Liye. Banyak edukasi dan pembentukan karakter yang dituturkan lewat cerita. 

Mungkin mirip dengan Keluarga Cemara-nya Arswendo Atmowiloto. Kalau Keluarga Cemara bersetting Sunda, saya kurang tahu Serial Anak Mamak, setting-nya di mana, tetapi sepertinya daerah transmigrasi di pulau Sumatera.

Di kemudian hari Tere Liye menambahkan lagi dua buku ke dalam Serial Anak Mamak ini, yang kemudian dinamai serial Anak Nusantara. Saya belum membaca dua buku terakhir tersebut.

Satu buku lainnya dari Tere Liye yang menurut saya layak dibaca adalah Rindu. Ber-setting perjalanan haji lewat kapal laut pada masa kolonial Belanda, menjelang pecahnya Perang Pasifik. Ada pelajaran besar di buku Rindu, bahwa orang-orang yang nampak hebat, sukses, berkharisma, ternyata masing-masing menyimpan semacam luka di masa lalunya.

Buku-buku lainnya kurang menarik menurut saya. Saya pernah membaca Bumi, Bulan, Matahari, Bintang yang merupakan bagian dari 7 seri Bumi. Tapi menurut saya fantasi dan imajinasinya sudah terlalu nggladrah dan inkonsisten.

Buku Pulang menurut saya agak maksa ceritanya. Dunia gangster bukan bahan yang cocok untuk kisah anak maupun remaja. Dunia gangster menjadi janggal tanpa mengisahkan prostitusi, perjudian, minuman keras, dan dugem.

Kemarin nama Tere Liye sempat menjadi perbincangan di twitter. Rupanya berkaitan dengan komentar Tere Liye yang cukup keras, perihal permasalahan yang sudah kronis di dunia perbukuan kita, yaitu pembajakan buku.

Capture tweet (dokpri)
Capture tweet (dokpri)

Sejumlah pihak sempat menyayangkan pilihan kata yang dipergunakan Tere Liye. Di antara respon cuitan di twitter:

  • Masalahnya, Bung Tere, audiens buku anda itu mayoritas anak smp dan sma yang belom engeuh sama isu pembajakan buku. Baik itu buku fisik maupun ebook. Sekarang mereka yg polos itu anda dungu dan goblokkan, makin nampaklah arogansi anda Bung Tere
    Saya tau anda lelah dgn isu ini, tapi alih-alih mengedukasi dgn baik, anda malah
    memilih menggunakan kata kasar... Kalau anda lelah menghadapi isu pembajakan, berhenti saja menulis, mgkin jualan kopi susi akan lebih laku. Karena pembajakan buku ini perjuangan di jalan panjang.
  • Segala pake digoblok-goblokin lagi. Sampe hati ya bisa ngegoblokin pembacanya sendiriSmiling face with tear di bio goodreads juga anti kritik. Where's the attitude.

Kita memang bangsa yang terbiasa dengan segala hal yang berbau bajakan. Mulai dari software bajakan, produk fashion bajakan, hingga buku bajakan. 

Saking nyamannya kita sering tidak menyadari bila sedang membeli atau menggunakan produk bajakan. Berikut cuitan para pembacanya mengenai buku bajakan:

  • Mungkin Tere Liye gak sadar bahwa pasti byk yg awalnya baca karya dia dari bajakan, terus lama2 karena sudah suka banget sama karyanya dan tumbuh rasa menghargai, jadi selalu beli karya dia yg asli untuk seterusnya
  • Yap betul,aku tidak membenarkan tindakan pembajakan. Tp aku setuju bahwa banyak teman-temanku yg awal mulanya menyukai karya tereliye dari ebook/ buku bajakan. Akhirnya waktu tau aku koleksi bukunya,mereka lambat laun pinjam dan setelah pinjam mereka tertarik membeli ke gramed.
  • Aku baru baca beberapa karya beliau dan beliau emang penulis handal. Banyak yg bisa diambil dari buku-bukunya. Tapi sedih banget baca ini, ngga membernarkan pembajakan buku, tp faktanya ga semua org teredukasi masalah ini
  • Yupp. Dia gak sadar bahwa yg membeli buku bajakan itu banyakan masih polos sama isu ini

Banyak orang yang mencuplik kalimat dari novel Tere Liye menjadi quote. Ini menunjukkan kecerdasannya memilih kata. Sejumlah cuitan menyayangkan pilihan kata yang dipergunakan:

  • Tere liye, you can do better. Find better words.
  • Kalau baca postingan beliau tuh kadang jadi mbatin, ini beneran dia yang nulis buku x ga siih? Di buku x kayaknya tulisannya bijaksana banget, kok ini kasar dan arogan.
  • YaAllah kok aku sakit hati ya bacanyaLoudly crying face
  • Pertama kali beli novel kls 8, itu buku hujan nya tere liye. Gue beli krn harganya murah, dan disitu gue masi ga ngerti tentang buku bajakan. Dengan mengatakan "goblok" kaya gini, saya beneran jd ga respect sama penulis, karya nya bagus tp attitude nya gini
  • 2in. Padahal aku baru menamatian buku Rindu, yg dulu karna aku gatau jadi ya asal beli dengan harga murah tp nganggur di rumah. Akhirnya baru dibaca dan suka, bahkan pengen baca karya yg lain. Tp kayak... Kok penulis yg bahkan tulisannya ngerubah hidupku jd gini
  • jujur ya, aku udah baca hampir semua karya Tere Liye dan aku selalu beli buku itu di Gramed, aslii..! tpi kalo emg bener bg Tere yg nulis itu, jdi kyk yg, mgkn rasa hormatku berkurang sm penulis. Mengedukasi pembelian karya asli itu bs dgn bnyk cara kok, g hrs gini
  • As good writer and poetic person, he can find the better words i guess

Ketika seorang penulis "menggoblok-goblokan" pembacanya mungkin dia sebenarnya tidak sedang bermaksud menyatakan kebencian pada pembaca. 

Tetapi pada kondisi kronis perbukuan Indonesia yang seolah dibiarkan auto-pilot oleh pemerintah. Sebenarnya pembajakan buku ini hanyalah semacam gunung es permasalahan perbukuan.

Tanpa ada pembajakan pun nasib penulis buku sudah susah. Royalti 15%, masih dipotong lagi PPN 10%. Penerbit juga menghadapi kesulitan dalam hal pajak dan harga kertas. 

Di mana keberpihakan pemerintah dalam hal ini? Apakah karena perbukuan bukanlah merupakan isu yang seksi? Adakah anggota dewan yang menyadari pentingnya dunia perbukuan? 

Padahal dulu para pendiri negeri ini adalah para penggila buku. Mungkin negeri ini akan lebih lama meraih kemerdekaan kalau dulunya mereka tak rajin membaca buku.

Tanpa ada pembajakan pun buku sudah menghadapi pesaing kuat. Youtube, TikTok, Netflix. Belum lagi game online. 

Ngenes rasanya melihat bocil-bocil milenial dengan entengnya membelanjakan ratusan ribu untuk voucher game online. Padahal di jaman dulu, kalau kita punya duit lebih, kita kepinginnya melengkapi koleksi Tintin atau Album Cerita Ternama.

Percuma pemerintah membuat iklan layanan masyarakat mengenai manfaat membaca atau mengadakan Duta Baca Indonesia, tanpa insentif nyata terhadap dunia perbukuan. 

Saya pernah mengobrol dengan seorang penerbit yang menceritakan yang paling menguntungkan di dunia perbukuan dewasa ini hanyalah segmen buku sekolah.

Minimkan pajak buku, dan hal-hal lainnya yang membebani dunia perbukuan. Sehingga orang tidak tergila-gila membeli buku saat ada bazar buku saja.

Dalam urusan KTP pun minim "penghargaan" terhadap penulis buku. Seorang Penulis buku atau Sastrawan, mungkin akan disarankan oleh pegawai kelurahan/kecamatan untuk mengisi kolom Pekerjaan dengan Swasta, Wiraswasta, atau Freelance. 

Apa sajalah asalkan tidak diisi dengan Tidak bekerja. John Grisham kalau pindah ke Indonesia dan mencoba mengurus KTP (misal sebagai WNA yang memiliki ijin tinggal tetap), terpaksa mengisi kolom Pekerjaan dengan pensiunan (dia adalah pensiunan pengacara).

Saya juga manusia penuh dosa. Dulu pada masa kuliah sering membeli fotocopy dari buku import yang merupakan textbook kuliah. Buku aslinya mahal dan tak mudah memperolehnya. Tak mungkin juga meminjam ke perpustakaan selama satu semester, paling lama seminggu. Jadi kalaupun pinjam, ya cuma buat difotocopy.

Saya jadi teringat ada tempat fotocopy-an yang laris manis menjadi jujugan para mahasiswa saat mencari textbook kuliah. Waktu itu pada belum kenal internet. Jadi untuk mencari buku manual penggunaan suatu software misalnya, ya kita datangnya ke tempat focopy-an ini. 

Konon pernah kena gerebek juga berkali-kali, tapi tetap survive. Tapi ada satu prinsip yang dipegang oleh tempat fotocopy-an tersebut, pantang mengcopy buku berbahasa Indonesia. Mungkin takut gampang dilacak.

Saya sendiri kini, saat membeli buku di marketplace makin waspada dengan mencermati harga, penjelasan, dan review di suatu lapak. Lapak yang selain menjual buku ori juga menjual buku bajakan, saya hindari. 

Fokus ke lapak yang review ori-nya baik. Mending beli buku bekas tapi ori. Saya sendiri sudah berkali-kali membeli buku bekas tapi ori. Toh buat dibaca sendiri. Barulah, kalau membeli untuk dihadiahkan, kita beli yang baru.

Monggo Pemerintah, lakukan tugas panjenengan untuk hadir di semesta perbukuan. Tak harus bikin duta buku atau duta baca, ringankan pajak untuk penerbit dan penulis, subsidi harga kertas buku. 

Sehingga suatu saat kita punya banyak yang berkaliber seperti John Grisham, Stephen King, Dan Brown, JK Rowling, dan Paulo Coelho.

Capture tweet (dokpri)
Capture tweet (dokpri)

WYATB GBU ASAP.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun