Jargon dan Delusi
"Tempat wisata dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan. Mall dan pasar dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan. Tempat ibadah dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan. Tempat makan dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan. Tempat hiburan dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan. Sekolah dan kampus dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan."
Paragraf di atas adalah kalimat yang sering diulang-ulang oleh para pejabat. Tetapi apakah benar protokol kesehatan dilaksanakan secara tertib dan konsisten dari jam buka hingga jam tutup.Â
Apakah ada yang memantau secara ketat pelaksanaannya dari jam buka hingga jam tutup? Apakah pengelola berani bersikap tegas memperingatkan dan menerapkan sanksi (misal, diusir keluar) bagi pengunjung yang melanggar? Tidak mungkin polisi dan satpol pp mengawasi seluruhnya. Apakah sudah terbentuk kultur untuk disiplin dan konsisten melaksanakannya dari para pengelola sendiri? Lihatlah di social media apakah masyarakat semakin rajin atau semakin kendor melaksanakannya.Â
Lihatlah di lingkungan sekitar, ketika kita di pasar, di jalan, di tempat ibadah, apakah masyarakat makin patuh melaksanakan protokol kesehatan. Pernahkah panjenengan merasa sebagai "kaum minoritas" saat berusaha disiplin mengenakan masker?
Bagi generasi yang pernah merasakan kurikulum '75 atau kurikulum '84, pasti hapal betul kalimat sakti di masa Orde Baru, "bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD'45 secara murni dan konsekwen". Kenyataannya? Mbelgedes pret ...
Penataran P4 dari SMP hingga perguruan tinggi, BP7 dari tingkat pusat hingga daerah, tempelan 36 butir Ekaprasetia Pancakarsa dengan bahasa yang ndakik-ndakik di tembok kelas, plang desa pelopor P4. Semuanya seolah memberikan delusi bahwa kita, terlebih pemerintahnya, sudah benar-benar menjalankan Pancasila dan UUD'45 secara murni dan konsekwen. Padahal yang sebenarnya masyarakat malah semakin apatis.
Kalau pandemi ini berlangsung lama hingga bertahun-tahun, bukan mustahil suatu saat ada penataran New Normal pola sekian jam, diasuh oleh Manggala New Normal dari tingkat pusat hingga daerah.
Desa-desa wisata akan berlomba memasang plang semacam "Desa Pelopor New Normal". Sementara obyek-obyek wisata dengan banyak pengunjung, seperti pantai, tebing, embung, bukit, akan memasang baliho atau spanduk "Tempat Wisata ini telah menjalankan Protokol Kesehatan".
Mungkin nantinya ada semacam stempel logo Protokol Kesehatan yang bakal tak kalah larisnya dari logo halal MUI. Sementara di angkringan dan lesehan, ditempel lembaran bertuliskan 36 butir protokol kesehatan. Di mall dan pusat perbelanjaan akan terpasang plat di dinding "Kami siap menjalankan Protokol Kesehatan". Sementara di tembok-tembok kelas dan di kantor-kantor akan tertempel poster bertuliskan "Trilogi New Normal".
Suatu saat mungkin kita akan "terbiasa" dengan rutinitas jargon tersebut. Terjebak di dalam rutinitas jargon, bukan rutinitas untuk melaksanakannya. Dan bila mindset kita masih tetap sama dengan "mindset ala Orba", maka hasilnya adalah delusi kalau kita sudah menjalankan protokol kesehatan secara murni dan konsekwen. Delusi kalau kita sudah aman dari covid.