Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ketika Kami Merasa Kehilangan Hoegeng

1 Juli 2020   10:45 Diperbarui: 1 Juli 2020   10:47 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di nisan Hoegeng kami mengadu
Kami benar-benar kehilangan Bapak
Kehilangan jiwa pengorbanan
Kehilangan jiwa kesederhanaan
Kehilangan jiwa kejujuran

Dan seandainya suatu hari
Tuhan memperkenankan Bapak untuk hadir lagi
Kami punya suatu permintaan
Sudilah kiranya, Bapak menjitak kepala para bedebah
Agar racun-racun di kepalanya menguap
Racun kesombongan
Racun ketamakan
Racun kepalsuan
Racun persekongkolan

Lewat sebuah perempatan jalan terasa ada hilang
Seperti ada yang tidak di tempatnya
Setelah lama baru tersadar
Patung polisi tak lagi berdiri di sana

Di seluruh kota terjadi kegemparan
Patung polisi di perempatan
Patung polisi di pinggir jalan
Patung polisi di penjuru kota
Semuanya menghilang

Di kompleks perumahan terjadi kegaduhan
Warga berkumpul karena peristiwa misterius
Polisi tidur di jalan-jalan kompleks menghilang
Seolah tercabut begitu saja dari jalan

Seluruh warga bersama melakukan pencarian
Dari loteng rumah hingga lubang sumur
Dari selokan hingga tangki air
Tidak satupun berhasil ditemukan
Warga bingung kemana lagi hendak dicari

Akhirnya seorang paranormal didatangkan
Setelah merem melek sambil komat-kamit ia berujar
"Saya sudah bisa berkomunikasi dengan mereka"
"Mereka mengatakan, dulu seorang negarawan pernah berujar, di negeri ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng."
"Tapi Pak Hoegeng sudah lama meninggal"
Warga sepakat menyodorkan sebuah pertanyaan
"Lalu, mengapa semua patung polisi dan polisi tidur itu menghilang?"
Sang paranormal hening cukup lama, setelah berdehem keras, ia menjawab lirih
"Mereka takut disiram air keras ....."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun