Di awal bulan Maret, Mbok Jum sempat pulang kampung sebentar ke Boyolali. Keperluannya, karena melihat renovasi sebagian rumahnya. Mbok Jum juga sempat bertemu dengan Slamet, anaknya, yang pulang dari Tangerang. Slamet selama ini bekerja di sebuah pabrik es di sana.
Lebih jelasnya, mengenai Mbok Jum, desanya, dan keluarganya, bisa juga dibaca artikel sebelumnya yang berjudul:
- Mbok Jum pulang kampung
- Tiga "Lebaran" di desa Mbok Jum
Hanya dua hari berada di kampungnya Mbok Jum balik lagi ke Jogja. Sementara Slamet balik ke Tangerang setelah seminggu di kampung. Sekitar seminggu setelah Slamet balik Tangerang, Mbok Jum ditelpon Slamet. Ternyata Slamet memutuskan pulang kampung lagi ke Boyolali. Apa gerangan penyebabnya? Jualan esnya baru seret.Â
Sekolah-sekolah yang biasanya menjadi sasaran penjualan diliburkan. Pasar malam yang juga menjadi tempat berjualan saat malam, ditiadakan. Sementara pesanan dari acara hajatan seperti resepsi pernikahan pun tak ada, karena sudah dilarang mengadakan acara hajatan yang mengumpulkan orang banyak.
Selama ini Slamet untuk keperluan makan sudah ditanggung oleh boss-nya. Tidur juga di rumah boss-nya yang sekaligus sebagai pabrik es. Tetapi lama kelamaan karena tidak berjualan sama sekali, Slamet merasa kurang enak juga, cuma numpang makan dan tidur setiap harinya, tanpa ada kepastian kapan bakal bisa berjualan kembali. "Wah, kalau tahu gitu, mending ndak usah balik dulu ke Tangerang dari dulu", celetuk Mbok Jum.
Mbok Jum lalu bercerita mengenai Hoho, cucunya di kampung, yang sekarang bekerja sebagai sopir mobil box. Pekerjaan Hoho masih jalan terus. Puji, adik Hoho, yang bekerja di pabrik garmen, juga masih terus bekerja. Sementara Sulami, anak Mbok Jum, ibunya Hoho dan Puji, masih tetap bekerja di sebuah industri abon sapi.Â
Konon, pesanan abonnya masih tetap banyak mengalir. Kami bersyukur di tengah pandemi ini, anak cucu Mbok Jum masih mendapat kelancaran rejeki. Di kala ekonomi terdampak pandemi, masih ada usaha yang bisa berjalan.
Hari pertama di bulan puasa, wajah Mbok Jum terlihat muram. Mbok Jum lalu bercerita, tadinya dia sudah membuat rencana, nanti saat mudik, akan dijemput oleh Hoho dan Slamet, dengan sewa mobil dari desanya.Â
Dengan begitu Mbok Jum tidak perlu kerepotan naik turun gonta ganti bus, apalagi saat mudik nanti, mungkin kepadatan tinggi, dan barang bawaan Mbok Jum yang tentunya cukup banyak saat mudik.
Rupanya telah terjadi perubahan rencana. Mbok Jum ditelpon oleh Hoho dan Slamet. Mereka mengusulkan kepada Mbok Jum, lebaran tahun ini jangan mudik dulu. Apa penyebabnya? Kata Hoho dan Slamet, kondisi di desanya sedang cukup ketat. Yang mudik nanti harus dikarantina.
Anak Mbok Jum lainnya yang tinggal di Madiun, juga menelpon Mbok Jum, dan menyarankan hal yang sama, yaitu agar Mbok Jum tidak perlu mudik dulu. Mungkin dia menyarankan hal tersebut berdasarkan situasi yang diamati di lingkungan sekitarnya.
Hoho, cucu Mbok Jum, berprofesi sebagai sopir mobil box. Mungkin saja selama bekerja Hoho juga telah mengamati situasi di jalan, di mana banyak posko pengawasan yang berkaitan dengan penerapan larangan mudik, PSBB, dan zona merah.Â
Belum pasti juga bagaimana perkembangan situasi menjelang Lebaran nanti. Bagaimana jika kondisi pengawasan lalu lintas makin ketat, tentu akan ada banyak kesulitan dalam menempuh perjalanan menjemput Mbok Jum.
Mbok Jum juga bercerita kalau banyak tetangga di desanya yang merantau di Jakarta, lebaran tahun ini juga telah memutuskan tak bakal mudik. Mungkin keluarga Mbok Jum juga merasa kurang enak, kalau yang lainnya ndak mudik, kok Mbok Jum mudik. Jadi akhirnya mereka semua bersepakat, Mbok Jum tidak usah mudik dulu.
Wajar kalau Mbok Jum bersedih, mungkin tadinya sudah terbayang akan membagi oleh-oleh di kampungnya buat anak, cucu, dan keponakan. Tadinya sudah terbayang bakal bercengkerama dengan anak dan cucu di kampung, merayakan lebaran bersama keluarga.Â
Juga pertemuan dengan para tetangga. Di desa Mbok Jum, umat Muslim, Nasrani, dan Buddha, selalu bertemu dengan Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal, dan Hari Raya Waisak, dalam kegembiraan yang sama dalam suasana rukun dan harmonis.
Yah, saya juga mesti maklum, lebaran kali ini tidak bisa menikmati jatah wajik, jenang dan jadah, yang biasanya dibawa oleh Mbok Jum saat balik lagi ke Jogja sehabis mudik lebaran. Kesehatan dan keselamatan Mbok Jum, juga keluarganya di desa, itu yang paling utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H