Hikmah dari mesti berkontemplasi di rumah saja dalam waktu lama adalah kita punya banyak kesempatan untuk menyimak gosip anyar dan kabar dari dunia infotainment mengenai tingkah polah selebritis. Perkara seberapa besar dosis unfaedah-nya, itu urusan lain.
Alkisah, tersebutlah seorang seleb yang kerap menghiasi panggung infotainment dengan berita penuh sensasi, mengungkapkan kejengkelannya, dikarenakan banyak orang yang datang ke rumahnya dengan tujuan meminta bantuan, mau minta duit lah ... Bahkan ada yang sampai bertahan nongkrongin di sekitar rumahnya. Apa sebenarnya awal mulanya kok seolah banyak orang yang menganggapnya bagaikan departemen sosial?
Terdapat sejumlah postingan di social media, ketika seleb bersangkutan membagikan bantuan dan juga bermurah hati dalam memberikan tips dalam nominal yang cukup besar. Lho, lalu di mana gerangan letak salahnya? Di negeri +62 ini kalau hendak mengikuti omongan netizen memang tidak bakal ada ujungnya.
Katakanlah, misal, ada seleb tajir yang diam-diam dalam memberikan bantuan, atau menyalurkan bantuan lewat lembaga-lembaga sosial yang kredibel, tanpa sepengetahuan publik. Ntar, akan muncul omongan semacam, "Dasar egois, individualis, pelit, medit, dalam situasi seperti ini kok ndak mau berbagi".
Katakanlah, misal, ada seleb yang membagikan bantuan, lalu video dan foto-fotonya diupload ke social media. Ntar, akan muncul omongan, "Dasar pamer, memberi bantuan kok riya". Padahal bisa saja saat seorang seleb, youtuber, influencer, public figure melakukan sesuatu akan menimbulkan hasrat bagi banyak orang untuk mengikuti tindakannya.
Kita-kita yang bukan seleb, mungkin pernah punya pengalaman semacam ini di lingkungan tetangga atau kerabat. Ada tetangga atau kerabat minta bantuan, katakanlah anggota keluarganya sakit. Pemikiran kita, oh ini hal darurat, jadi penting untuk dibantu. Tak lama berselang, dia datang lagi minta bantuan. Kali ini dengan alasan anak perlu daftar sekolah. Dan terus berulang demikian, dengan bermacam alasan. Kalau dalam istilah Jawa, orang tersebut menjadi gemar "njagake" bantuan dari kita. Tuman .... begitulah kata generasi milenial.
Dulu waktu bersekolah, saya lebih sering pulang naik angkutan umum. Ada teman sudah punya sepeda motor, rumahnya masih terbilang satu kampung meski beda RW, karena agak jauh. Kadang kalau pulang, dia menawarkan saya untuk membonceng. Meski demikian saya ndak mau njagake boncengan dari dia, karena relasi kita meski tidak buruk tapi bukan termasuk teman akrab. Jadi kalau pulang sekolah ya saya tetap mencegat angkutan umum seperti biasa.Â
Saya ndak ingin mengganggu aktivitasnya, toh kita ndak tahu, apakah saat pulang nanti dia mau mampir kemana dulu, atau sudah ada teman yang dia ajak boncengan. Kadang saat saya mencegat angkutan umum, dia berhenti menawarkan boncengan, dan saya ikut membonceng. Kadang juga dia lewat begitu saja. Ndak masalah buat saya, masing-masing memiliki kemerdekaannya sendiri. Yang terpenting adalah, jangan sampai kebaikan orang lain, menjadikan kita jadi tuman dan njagake. Jangan jadi orang yang gemar ngarep.
Misal kita punya kawan yang sangat akrab dan sering main ke rumahnya. Setiap kali main ke rumahnya, kawan kita ini akan menyuruh kita untuk memilih minuman dingin dari kulkasnya. Katanlah suatu kali kita datang ke rumahnya, kawan kita ini masih dalam perjalanan menuju rumah, lalu kita diminta oleh keluarganya untuk duduk menunggu.Â
Kita tentu tidak akan seenaknya mengambil minuman dingin dari kulkas, hanya karena kita sering melakukannya saat bersama dengan kawan tersebut. Itu tentu sangat tidak sopan, kalau dalam istilah Jawa, "nranyak". Bahkan sekalipun, orang tua kawan kita tersebut menyuruh kita untuk mengambil minuman sendiri di kulkas, mungkin kita akan lebih memilih untuk menunggu kehadiran kawan kita. Kecuali memang jika kita juga sudah sangat akrab dengan orang tuanya.
Dalam lingkungan pergaulan sosial di masyarakat atau keluarga besar kita, kadang ada orang-orang yang mengganggap bahwa suatu kebaikan atau bantuan yang diterimanya sudah menjadi semacam "taken for granted". Sehingga kalau keinginannya tidak terpenuhi oleh orang yang diperlakukannya sebagai "posko bantuan" maka dia akan berperilaku tidak kondusif.