Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pada Masanya, Kita Masih Bisa Berbagi Makanan di Perjalanan

29 Oktober 2019   09:22 Diperbarui: 29 Oktober 2019   12:06 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari di tahun 90-an, saya menumpang sebuah kereta api kelas ekonomi dalam perjalanan dari tanah Sunda menuju ke Jogja. Kala itu jika saya memberitahukan kepada bibi saya yang orang Sunda, bahwa saya hendak ke Jogja, beliau akan menanggapinya, "Oh, hendak pulang ke Jawa".

Kereta berangkat pagi. Untunglah saya sudah persiapan antre karcis beberapa jam sebelum jam buka loket, sehingga masih kebagian nomer tempat duduk. Barisan kursi 3-2, duduk saling berhadapan. 

Saya duduk bersama sebuah keluarga, yang terdiri dari suami istri dengan dua anak yang masih setingkat SD. Duduk persis di sebelah saya adalah sang suami. Kami mengobrol sepanjang perjalanan. Ketika sudah masuk waktu makan siang, suami istri itu mengeluarkan bekal makanan mereka.

Saya sendiri tidak membawa bekal makanan, karena berencana akan membeli sebungkus nasi ayam atau nasi rames, saat kereta berhenti di stasiun antara. Kereta ekonomi di jaman itu, para penjaja makanan bersliweran di dalam kereta setiap kali kereta berhenti di stasiun. 

Rupanya keluarga kecil tersebut membawa bekal makanan sejumlah arem-arem. Saya menerima uluran makanan mereka, dan kami makan bersama dengan akrabnya. 

Tentu saja, saya membatalkan rencana hendak jajan nasi bungkus, karena dua bungkus arem-arem sudah terasa cukup untuk mengganjal perut sampai nanti sore saat kereta mencapai stasiun Tugu. Waktu itu kereta ekonomi masih berhenti di stasiun Tugu, baru selanjutnya menuju Lempuyangan.

Tahun 90-an, selain kereta api, bus malam juga menjadi moda transportasi pilihan saya untuk perjalanan antar kota antar provinsi. Berangkat sekitar jam tujuh malam, sampai Jogja menjelang subuh.

Saya duduk bersebelahan dengan seorang pria, mungkin lebih tua beberapa tahun. Kami duduk paling depan sendiri, sehingga leher bakalan cepat pegal kalau hendak menengok layar televisi di bus yang menyajikan film dari pemutar kaset video (belum jamannya VCD/DVD player). 

Ketika itu ponsel juga belum marak. Jadilah kami ngobrol ngalor ngidul sambil sesekali mengomentari lalu lintas sepanjang perjalanan, tidak seperti di jaman now dimana obrolan bakal banyak diinterupsi bunyi "tuit tuit" dari gawai. 

Setelah lama mengobrol, dia membuka sebungkus biskuit, dan menawarkan kepada saya. Mungkin di jaman ini, pemandangan di mana saya menerima dan kemudian ikut menikmati biskuit tersebut, dapat dianggap sebagai sesuatu tindakan yang sembrono.

Dulu tahun 90-an, kereta api ekonomi jarak jauh masih menjual tiket tanpa tempat duduk. Mungkin suatu kali kita pernah bepergian sendirian, karena tak kebagian kursi, terpaksa "lesehan" di lorong kereta beralas koran bekas. 

Lalu "terjebak" bersama sebuah rombongan yang bepergian bareng. Mengobrol ngalor ngidul, bahkan mungkin bagi yang masih sama muda menjadi kawan main kartu bersama untuk sekedar menghilangkan kejenuhan dalam perjalanan jauh. Apalagi bagi kereta kelas ekonomi yang kerap berhenti di stasiun kecil dan kerap mengalah kala bersilangan.

Pergi berombongan dengan kereta ekonomi, sudah jamak dengan persiapan bekal makanan, untuk menghemat pengeluaran. Kalau kita suatu kali "terjebak" dalam rombongan semacam itu, percayalah, kita tak akan kelaparan, meski tak membawa bekal makanan. 

Dalam keakraban yang sudah terbentuk, saat makanan mulai berputar, kita pasti akan kebagian, ikut diajak bersama menikmati bekal makanan mereka. Ketika itu, kita masih mudah menemukan rombongan penumpang bepergian membawa rantang bagaikan hendak piknik di taman.

Pada masa sekarang, di ruang tunggu penumpang stasiun kereta dan terminal, sering terdengar  kala musim mudik dan liburan, disampaikan berulang-ulang lewat speaker stasiun dan terminal, tulisan besar-besar tertempel di tembok, terpampang dalam spanduk, diucapkan oleh reporter di berita televisi, apa gerangan pesan yang kini sering diingatkan terutama oleh aparat keamanan dan perhubungan? 

"Jangan menerima makanan/minuman dari orang yang tidak dikenal", begitulah bunyinya. Anak kecil, juga sudah kita nasihati, untuk jangan memakan permen yang diberikan orang lain yang tidak dikenal. Kita sudah sama-sama tahu mengapa mesti demikian.

Pernah suatu masa, ketika penumpang di sebelah kita dalam suatu perjalanan jauh, bukan hanya sekedar kawan mengobrol berbual-bual, tetapi juga kawan menikmati makanan bersama. 

Beda dengan kini, ketika ada orang yang mencoba berbasa-basi menawarkan makanan, kita mesti betul-betul tanggap makna yang sebenarnya. 

Ada guyonan dari seorang rekan, "Kalau suatu ketika penumpang yang duduk tepat di sebelahmu mulai membuka bekal makanannya sambil menyapa 'Makan Mas', maka sadarilah bila sesungguhnya itu bukanlah sebuah kalimat ajakan, tetapi hanyalah kalimat berita".

Mungkin kita pernah mendengar suatu kebiasaan orang-orang tua kita dulu di sejumlah daerah, menyediakan gentong berisi air di depan rumah. Siapapun boleh mengambil airnya. 

Utamanya untuk penghilang dahaga para musafir yang sedang dalam perjalanan, atau sekedar untuk menyegarkan muka dari teriknya mentari. Mengapa kebiasaan ini makin punah? Mungkin bukan semata karena tak ingin kerepotan. 

Tapi bisa saja kekhawatiran atau bahkan pengalaman buruk, adanya orang usil dengan perilaku tak bertanggungjawab memasukkan benda yang bisa mencemari air sehingga dampaknya bisa menimbulkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi. 

Padahal di jaman ini, hanya karena sekedar ingin berbuat kebaikan, tapi urusan bisa panjang. Air minum di gentong pun dapat menimbulkan persoalan.

Ada yang mungkin pernah mendengar pengalaman dari perantauan. Ketika makanan tersisa saat makan di warung, lalu ada penduduk lokal yang mencoba meminta sisa makanan tersebut, maka pemilik warung buru-buru mencegah kita untuk tak memberikannya. 

Bisik-bisik kemudian, pemberian makanan itu nantinya bisa menimbulkan persoalan. Nulung kepentung, sebuah istilah Jawa yang menggambarkannya. Ada warga yang akan mengaku-ngaku sakit lantaran makanan pemberian itu dan menuntut diberikan ganti rugi. 

Mustahil rasanya hal semacam itu menjadi bagian dari kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Bagaimana mungkin suatu masyarakat bisa mempelajari sebentuk keculasan, yang makin membuat orang enggan untuk berbagi makanan?

Zaman sudah berubah. Orang mesti berhati-hati meski hanya dalam hal berbagi makanan. Bukan semata karena ketidakpedulian atau merasa itu sebagai beban. Prasangka dan kekhawatiran menjadi penghalang. Karena dunia yang kita tinggali sekarang makin nihil dari rasa saling percaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun